9 Hal yang Harus Anda Ketahui Tentang Paus Benediktus XVI

Sebagai mantan kepala Gereja Katolik seluruh dunia, Paus Benediktus XVI pernah menjadi pemimpin spiritual bagi lebih dari satu miliar orang. Namun teolog kenamaan itu mengumumkan pensiun dini pada tanggal 11 Februari 2013 karena faktor usia.

Berikut adalah sembilan hal yang harus Anda ketahui tentang Joseph Aloisius Ratzinger atau Paus Benediktus XVII.

1. Benediktus XVI adalah paus ke-265 dan yang pertama mengundurkan diri dalam kurun waktu lebih dari 600 tahun.

2. Benediktus XVI terpilih sebagai paus pada usia 78 tahun 3 hari. Dia adalah orang tertua kelima yang terpilih sebagai paus sejak tahun 1670. Empat lainnya adalah Klemens X di usia 79 tahun 290 hari (1670), Alexander VII di usia 79 tahun 177 hari (1667), Paulus IV di usia 78 tahun 330 hari (1555), dan Klemens XII di usia 78 tahun 100 hari (1730).

3. Lahir sebagai Joseph Ratzinger. Dia berusia enam tahun ketika Nazi berkuasa di tanah kelahirannya di Bavaria, Jerman. Meskipun keluarganya sangat anti-Nazi, dia sempat dipaksa—seperti semua remaja Jerman—untuk bergabung dengan Pemuda Hitler. Pada tahun 1943, saat masih di seminari, ia direkrut menjadi korps anti-pesawat Jerman sebagai prajurit anak angkatan udara, meskipun ia membelot dua tahun kemudian. Selama menjadi korps anti-pesawat, Ratzinger tidak pernah sekalipun melepas tembakan. Pada tahun 1945, setelah pembelotannya, ia dikenali sebagai tentara Jerman oleh Amerika dan dikirim ke kamp tawanan perang di dekat kampung halamannya. Dia dibebaskan beberapa bulan kemudian dan kembali ke seminari.

70 Tahun Imamat Paus Benediktus XVI

4. Setelah ditahbiskan sebagai imam Katolik pada tanggal 29 Juni 1951, Ratzinger menjadi teolog akademis. Dia memiliki karir yang panjang sebagai akademisi, menjabat sebagai profesor teologi di beberapa universitas Jerman, sebelum diangkat menjadi kardinal pada tahun 1977. Sebelum promosi, Ratzinger memiliki pengalaman pastoral yang relatif sedikit.

5. Pada tahun 1976, ia menyarankan agar Pengakuan Iman atau Aku Percaya versi Augsburg dipertimbangkan dan mungkin dapat diakui juga sebagai pernyataan iman Katolik. Pengakuan iman atau Aku Percaya versi Augsburg ini sebenarnya adalah pengakuan utama dari iman Gereja Lutheran dan juga adalah salah satu dokumen terpenting dari reformasi Lutheran. Razinger kemudian menarik kembali usulannya ini karena perbedaan mendasar antara Katolik dan Lutheran tentang pembenaran.

6. Pada tahun 2001, Ratzinger meyakinkan Yohanes Paulus II untuk menempatkan Kongregasi untuk Doktrin Iman—kantor Vatikan yang diawasi Ratzinger—yang bertanggung jawab atas semua investigasi dan kebijakan seputar pelecehan seksual untuk memerangi pelecehan seksual dalam gereja secara lebih efisien. Tentang hal ini, John L. Allen, Jr., jurnalis di Vatican pernah mengatakan,”

Bagaimanapun, Ratzinger sangat teliti dalam mempelajari file-file itu, menjadikannya salah satu dari sedikit anggota gereja di mana pun di dunia yang telah membaca dokumentasi tentang hampir setiap imam Katolik yang pernah dituduh melakukan pelecehan seksual. Ini yang membuat Ratzinger menjadi sangat akrab dengan rincian persoalan yang tidak pernah bisa ditandingi oleh tokoh lain di dalam gereja Katolik. Didorong oleh perjumpaannya dengan apa yang kemudian dia sebut sebagai “kotoran” dalam gereja, Ratzinger tampaknya telah mengalami hal yang dapat disebut sebagai “pengalaman pertobatan” sepanjang tahun 2003-2004. Sejak saat itu, Ratzinger dan para stafnya tampak didorong oleh semangat seorang zelot untuk membersihkan berbagai kotoran dan kekacauan itu. Dari lebih dari 500 kasus yang ditangani Kongregasi untuk Ajaran Iman sebelum pemilihan Benediktus menjadi paus, sebagian besar dikembalikan ke uskup lokal. Para uskup lokal diberi kewenangan untuk segera menangani kasus imam yang dituduh melakukan pelecehan seksual. Tidak perlu melalui pengadilan kanonik dan tidak perlu ada proses yang panjang. Para imam itu dibebaskan saja dari pelayanan dan pemberhentian dari imamat. Dalam sejumlah kasus yang lebih terbatas, kongregasi meminta pengadilan kanonik, dan dalam beberapa kasus kongregasi memerintahkan agar imam dipekerjakan kembali.

7. Selama menjadi kardinal, para pengritik Katolik liberal menjuluki Ratzinger sebagai “Anjing Rottweiler Allah” karena posisi dan tindakan konservatifnya, misalnya penolakannya terhadap homoseksualitas dan pernikahan sesama jenis, pendisiplinannya terhadap teolog pembebasan Amerika Latin, dan kecamannya terhadap para imam dari Asia yang memandang agama-agama non-Kristen sebagai bagian dari rencana Allah bagi umat manusia.

8. Ratzinger telah menulis 69 buku. Buku pertamanya yang terbit pada tahun 1966 diberi judul Theological Highlights of Vatican II. Dan buku paling akhir yang ditulis Benediktus XVI tahun 2020 berjudul From the Depths of Our Hearts: Priesthood, Celibacy and the Crisis of the Catholic Church.

9. Sebenarnya Ratzinger tidak benar-benar ingin menjadi paus. Pada tahun 1997, pada usia 70 tahun, dia meminta izin kepada Paus Yohanes Paulus II untuk menjadi arsiparis di Arsip Rahasia Vatikan dan pustakawan di Perpustakaan Vatikan. Permintaan itu ditolak Paus Yohanes Paulus II. Pada saat pemilihannya sebagai paus, Ratzinger yang telah lama berharap agar bisa pensiun dengan damai tetapi malah terpilih, lalu mengatakan, “Pada titik tertentu, saya berdoa kepada Tuhan ‘tolong jangan lakukan ini kepada saya’ … tetapi ternyata kali ini Tuhan tidak mendengarkan doa saya.”

Sekali lagi, BAPA SUCI PAUS BENEDIKTUS XVI, SELAMAT MERAYAKAN 70 TAHUN IMAMAT. TUHAN MEMBERKATIMU.

Adven Bunda Maria Bunda Maria dari Fatima Doa Katolik dosa dosa berat dosa ringan hari minggu gaudete homili Katolik homili paus fransiskus Katekese keberanian kebijaksanaan Kesaksian Keuskupan Agung Jakarta keutamaan keutamaan Katolik keutamaan keadilan keutamaan keberanian keutamaan kebijaksanaan keutamaan moral keutamaan teologis martir masa adven Mgr. I. Suharyo minggu palma nafsu seks nama baptis oscar romero paroki tomang paus fransiskus pekan suci pengendalian diri perayaan ekaristi politik Katolik puasa rabu abu rekoleksi renungan Katolik Salib Santo Oscar Romero tanda salib tujuh dosa mematikan tujuh dosa pokok Vatican

5 Hal Penting di Hari Perayaan ke-70 Tahun Imamat Paus Benediktus XVI

Tanggal 29 Juni 2021, Paus Emeritus Benediktus XVI merayakan 70 tahun imamat. Paus Benediktus XVI atau yang nama aslinya Joseph Aloisius Ratzinger ditahbiskan pada tanggal 29 Juni 1951 di Bavaria bareng kakaknya sendiri, Georg Ratzinger. Keduanya menerima tahbisan imamat dari tangan Michael von Faulhaber, Uskup Agung Munich.

Setelah menerima tahbisan imamat, Ratzinger tenggelam dalam karier akademik, mulai dengan studi-studi lanjut dan kemudian menjadi pengajar dan teolog kenamaan dalam Gereja Katolik. Sejak tahun 1950-an akhir, Ratzinger ditempatkan sebagai salah satu teolog terkemuka. Di tahun 1958 dia dikukuhkan sebagai guru besar bidang teologi, di usianya yang baru 31 tahun.

Setelah berkarier sebagai pengajar teologi di beberapa universitas di Jerman, Ratzinger diangkat sebagai Uskup Agung Munich dan Freising dan diangkat sebagai Kardinal oleh Paus Paulus VI di tahun 1977. Pengangkatan ini dianggap sebagian orang sebagai aneh karena Ratzinger dianggap memiliki pengalaman pastoral yang sangat minim pada waktu itu.

Di tahun 1981, Ratzinger diangkat sebagai Prefek dari Kongregasi bagi Ajaran Iman, salah satu departemen yang paling penting dalam Kuria Roma. Sejak tahun 2002 sampai terpilih sebagai Paus pada tahun 2005, Ratzinger adalah Kepala Dewan Kardinal di Vatican.

Dalam perayaan 70 tahun imamat tanggal 29 Juni 2021 ini, Uskup Georg Ganswein, sekretarisnya Benediktus XVI dan timnya telah menyiapkan sebuah kejutan perayaan.

Empat dari lima hal berikut dikatakan Mgr. Ganswein kepada para wartawan menjelang perayaan imamat ke-70 Benediktus XVI. Sementara 1 hal lagi berhubungan dengan penyelenggaraan pameran foto dan lukisan.

1. Tentang hari di mana Ratzinger ditahbiskan di tahun 1951, Mgr. Ganswein mengatakan, “Dia [Joseph Ratzinger] masih mengingat dan mengenang betapa upacara tahbisan di hari itu berlangsung sangat panjang. Dia juga masih mengingat dengan baik bagaimana Kardinal Faulhaber denan cara yang sangat bermartabat bersedia menahbiskan dirinya. Kardinal Faulhaber yang lebih tua dan sangat bergengsi mau menahbiskan dirinya. Joseph Ratzinger juga mengingat betapa Kardinal Faulhaber memiliki kesan yang sangat positif padanya. Ziarah hidupnya sebagai seorang imam diawali dengan tahbisan suci di tanggal 29 Juni 1951 itu.”

2. Bagi Joseph Ratzinger, perayaan misa adalah bagian terpenting dalam hidupnya sebagai imam. Dan sekarang, Benediktus XVI tidak bisa berdiri atau berjalan. Dia hanya bisa duduk di kursi roda. Tentang hal ini, Mgr. Ganswein mengatakan, “Sayangnya, dia [Joseph Ratzinger] tidak bisa tahan berdiri selama setengah jam itu. Dia merayakan Misa dengan cara duduk di kursi roda di sebelah altar, sementara saya bertindak sebagai selebran utama. Sejak ditahbiskan sebagai imam 70 tahun yang lalu, Joseph Ratzinger tidak pernah absen merayakan misa.”

3. Menyambut perayaan imamat 70 tahun, mereka yang tinggal bersama Benediktus XVI di Biara Mater Ecclesiae di Vatican telah mempersiapkan kejutan acara. Kata Mgr. Ganswein, “Benedict XVI masih belum tahu akan ada acara untuk dia. Tapi kami sudah menyiapkan kejutan untuknya. Bagi Benediktus XVI, kejutan selalu berkaitan dengan liturgi. Untuk itu, kami telah mengundang sekelompok mantan anggota paduan suara dari Regensburg. Para anggota paduan suara ini dulunya pernah belajar menyanyi bersama kakak kandung dari Benediktus XVI sendiri yang juga seorang imam dan konduktor koor kawakan. Sekarang para anggota paduan suara itu berusia antara 40 dan 60 tahun. Beberapa dari mereka akan bernyanyi di kapel selama misa perayaan 70 tahun imamat Benediktus XVI.”

4. Tentang keadaan paling akhir dari Benediktus XVI, kata Mgr. Ganswein, “Paus Emeritus kini berusia 94 tahun dan secara fisik sangat lemah. Keadaannya sudah sangat rapuh. Tapi syukur kepada Tuhan, pikirannya berfungsi dengan sangat baik, tidak ada masalah. Suaranya juga sudah sangat lemah. Dia mengalami kesulitan dalam berbicara. Meskipun demikian, dia selalu bersemangat. Dia selalu mengatakan, ‘Saya mengawali hariku bersama Tuhan dan mengakhiri hari juga bersama Tuhan. Kita akan lihat sampai berapa lama keadaan ini akan bertahan.’”

5. Penyelenggaraan pameran karya-karya seni dan lukisan. Salah satu kegiatan dalam memeriahkan perayaan 70 tahun imamat Benediktus XVI adalah penyelenggaraan pameran foto dan lukisan Benediktus XVI di pameran bernama “Pameran Roma”. Foto-foto dan lukisan-lukisan Benediktus XVI akan ditata secara seni oleh Albano Poli, seorang seniman liturgi dalam pameran berjudul Cooperatores Veritas. Ungkapan Cooperatores Veritas sebenarnya adalah motto episkopalnya Joseph Ratzinger sendiri. Foto-foto dan lukisan-lukisan Benediktus XVI akan dipajang di Galleria Arte Poli, di Borgo Vittorio 88 di Roma. Pameran itu sendiri akan berlangsung sampai tanggal 22 Desember 2021 dan dapat disaksikan juga secara virtual.

Selamat merayakan 70 Tahun Imamat kepada Joseph Ratzinger alias Paus Benediktus XVI. Sehat dan bahagia selalu. Tuhan Yesus memberkati!

Adven Bunda Maria Bunda Maria dari Fatima Doa Katolik dosa dosa berat dosa ringan hari minggu gaudete homili Katolik homili paus fransiskus Katekese keberanian kebijaksanaan Kesaksian Keuskupan Agung Jakarta keutamaan keutamaan Katolik keutamaan keadilan keutamaan keberanian keutamaan kebijaksanaan keutamaan moral keutamaan teologis martir masa adven Mgr. I. Suharyo minggu palma nafsu seks nama baptis oscar romero paroki tomang paus fransiskus pekan suci pengendalian diri perayaan ekaristi politik Katolik puasa rabu abu rekoleksi renungan Katolik Salib Santo Oscar Romero tanda salib tujuh dosa mematikan tujuh dosa pokok Vatican

Seutas Makna pada Bencana Alam

Hari Minggu Paskah, 4 April 2021. Pagi-pagi benar ketika para warga desa masih terlelap. Sebagian baru saja tidur selepas tengah malam perayaan malam Paskah. Kali ini, mereka tidak ke kubur Yesus bersama para perempuan. Tidak ada yang mereka risaukan soal siapakah yang akan menggulingkan batu penutup kubur bagi mereka. Justru batu-batu besar, pasir dan banjir bandang datang “menjemput”.

Ratapan keluarga dari balik hujan lebat terdengar pilu. Tuhan, Engkau sungguh tega menimpakan derita ini pada kami. Mengapa harus bapa, mama, kaka dan ade kami yang Engkau ambil?

Protes dan keberatan kepada Tuhan karena tragedi ini susah beranjak pergi. Jika sudah begitu, haruskah kita berpaling pada protes mereka yang tidak percaya pada Tuhan? Haruskah kita kalah dan tunduk pada alam pikir kaum ateis, bahwa bencana alam di berbagai daerah di NTT adalah bukti ketidakperkasaan Allah?

Saya sependapat dengan Alvin Platingga, filsuf pembela iman Kristiani, yang mengatakan bahwa hal yang paling dibutuhkan ketika berhadapan dengan tragedi seperti bencana alam adalah “dukungan dan penghiburan rohani” (Philosophers who Believe, 1993: 71). Alasannya, berspekulasi pada problem kemahakuasaan Allah di hadapan kekejaman bencana alam hanya akan melahirkan keputusasaan bahkan kegilaan.

Intuisi Platinga bukan sebuah sikap ketakberdayaan. Sama seperti juga ditegaskan Katekismus Gereja Katolik, sebuah jawaban yang cepat atas pertanyaan mengapa Allah “mengizinkan” tragedi dan penderitaan tidak akan pernah memuaskan kita (KGK, 309).

Baca juga

Bisa jadi term “mengizinkan” tidak tuntas menggambarkan kebenaran dan cinta kasih Allah kepada manusia di satu sisi serta bencana alam di sisi lainnya. Dalam konteks ini, pendapat Platinga bisa saja benar, bahwa lebih baik mengatakan “kita tidak tahu mengapa Allah mengizinkan tragedi dan penderitaan” (Philosophers who Believe, 1993: 71-72), dan bahwa yang kita tahu dengan pasti adalah kehendak bebas Allah untuk rela menderita demi menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan-Nya. Dalam arti itu, Platinga tampak sejalan dengan penegasan Katekismus Gereja Katolik, bahwa tragedi dan penderitaan hanya bisa dipahami dalam misteri keselamatan secara menyeluruh (KGK, 309), apa yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam KGK 309-314.

Tetapi lagi-lagi ini bukanlah jalan keluar yang memuaskan. Meskipun tidak lengkap, sebuah jawaban bisa membantu dapat diberikan di sini dengan catatan bahwa pemahaman yang lebih lengkap harus diberikan dalam konteks rencana keselamatan Allah secara menyeluruh.Menurut saya, teori entropi dapat menjadi jawaban atas gugatan terhadap kemahakuasaan Allah di hadapan bencana alam. Dalam diskursus eksistensi Tuhan, teori ini dipopulerkan oleh George Coyne, ilmuwan dan imam Yesuit yang pernah bekerja di observatorium Vatican pada tahun 1978.

Sejalan dengan ajaran Gereja (bdk KGK 309-314), Coyne mengatakan bahwa alam semesta diciptakan sempurna dan memiliki hukumnya sendiri. Alam semesta selalu membarui diri demi mencapai keseimbangan baru. Dalam arti itu, bencana alam adalah bagian dari cara kerja alam mencapai suatu keseimbangan.

Dalam proses keseimbangan alam itulah tidak jarang manusia menjadi korban karena “kebetulan” sedang berada di sekitarnya. Manusia sebenarnya dapat menghindari bencana alam tersebut persis karena Allah menganugerahinya akal budi untuk memelajari gejala-gejala alam agar bisa memberi peringatan dini kepada sesamanya – melalui teknologi super canggih yang menghasilkan ramalan cuaca yang tepat (Gary Stern, Can God Intervene?, 2007: 92-94).

Bencana alam sudah terjadi di NTT dan ratusan orang telah menjadi korban. Dukungan rohani apa yang dapat diberikan kepada keluarga korban? Dalam suratnya memeringati satu tahun runtuhnya jembatan Morandi di Genoa, Italia, tanggal 13 Agustus 2019 yang menewaskan 43 orang, Paus Fransiskus menegaskan bahwa alih-alih mempermalukan manusia, bencana alam justru dapat mendekatkan kita dengan penderitaan itu sendiri yang telah diambil alih Allah melalui penderitaan Putra-Nya. Bagi Fransiskus, dalam relasi mendalam dan doa, kemarahan, kekecewaan, rasa marah, dan frustrasi karena penderitaan mendapatkan maknanya pada Allah yang menderita.

Allah yang hadir dan ikut menderita adalah wujud solidaritas yang paling paripurna. Penderitaan saudara-saudara kita di NTT tidak hanya mendekatkan kita dalam solidaritas dan persaudaraan, tetapi juga meneguhkan kita dalam solidaritas Allah yang paripurna: jalan kesempurnaan melalui jalan salib.[]

Catatan: Versi cetak tulisan ini dapat dibaca di Majalah Mingguan Hidup, 18 April 2021.

Adven Bunda Maria Bunda Maria dari Fatima Doa Katolik dosa dosa berat dosa ringan hari minggu gaudete homili Katolik homili paus fransiskus Katekese keberanian kebijaksanaan Kesaksian Keuskupan Agung Jakarta keutamaan keutamaan Katolik keutamaan keadilan keutamaan keberanian keutamaan kebijaksanaan keutamaan moral keutamaan teologis martir masa adven Mgr. I. Suharyo minggu palma nafsu seks nama baptis oscar romero paroki tomang paus fransiskus pekan suci pengendalian diri perayaan ekaristi politik Katolik puasa rabu abu rekoleksi renungan Katolik Salib Santo Oscar Romero tanda salib tujuh dosa mematikan tujuh dosa pokok Vatican

Dua Mukjizat Dari Balik Bencana di Lembata

Video berdurasi kurang dari 1 menit tentang mukjizat altar dan tabernakel yang tidak rusak di Gereja Stella Maris Lewotolok, Lembata telah beredar luas di media sosial. Video itu pun jadi buah bibir (tentang peristiwa iman ini, lihat misalnya video 1, 2, 3, 4, dan 5).

Betapa tidak. Sebagaimana dikisahkan Bernadus Kewuel, seorang warga desa Lewotolok yang rumahnya tidak jauh dari gereja dan yang selamat dalam musibah itu, hujan turun sangat lebat sekitar pukul 1.30 pagi waktu Indonesia tengah. Itu adalah hari minggu Paskah, 4 April 2021, hanya beberapa jam setelah perayaan malam Paskah di gereja mereka. Di malam Paskah itu, Romo Sinyo da Gomes, pastor deken Lembata baru saja selesai bercengkerama dengan beberapa umat seusai misa malam Paskah. Bernadus belum lama meninggalkan gereja dan balik ke rumah sebelum banjir bandang itu menerjang dari arah Gunung Ile Lewotolok.

Baca juga…

Suara lirih dan tangisan seseorang dari video tersebut mengekspresikan perasaan takjub. Betapa gereja Stella Maris Lewotolok yang dalam kalkulasi manusia seharusnya hanyut dan hancur, ternyata masih berdiri kokoh. Hanya bagian belakang gereja itu yang terkubur lumpur. Menyimak video dan foto, perhatian kita pun tertuju pada altar, tabernakel dan patung Yesus di Salib yang tampak utuh.

Bagian belakang gereja Stella Maris Lewotolok, Lembata yang terendam lumpur sedang diperbaiki. Tampak altar, tabernakel dan patung Yesus di Salib yang masih utuh. Sumber

Mungkin teman-teman sulit membayangkan peristiwa menakjubkan kita. Sebagai orang yang berasal dari desa yang tidak jauh dari tempat kejadian, saya bisa memberikan gambaran di sini. Gereja Stella Maris Lewotolok terletak persis di pinggir kali, tidak jauh dari bibir pantai. Jika kita perhatikan rumah-rumah di sekitarnya yang hancur dan rata dengan tanah dan gereja Stella Maris masih kokoh berdiri, sulit rasanya untuk tidak menghubungkannya dengan mukjizat dan tanda-tanda kebesaran Tuhan.

Alkitab yang Masih Utuh

Mukjizat Tuhan dari balik bencana tampak tidak berhenti di Lewotolok. Mari kita bergeser ke arah timur, ke desa Waimatan yang teletak 5,8 kilometer dari gereja Stella Maris Lewotolok. Ada sebuah keajaiban yang terjadi di sana.

Adalah Yogi Making, salah seorang relawan mengisahkan kejadian ini di akun facebook-nya. Kamis, 8 April 2021, Yogi dan teman-teman relawan menyusuri desa Waimatan. Mereka bekerja keras menemukan puluhan mayat yang masih tertimbun lumpur dan batu-batu besar. Desa Waimatan yang terletak persis di lereng gunung itu nyaris terkubur seluruhnya oleh lumpur dan batu-batuan yang runtuh dari lereng gurung.

Desa Waimatan yang tampak hancur diterjang lumpur dan batu-batuan.

Demikianlah, di tanggal 8 April itu, mata Yogi tertuju pada sebuah buku yang nyaris hancur. Buku itu tergeletak di atas sebuah batu. Penasaran, Yogi pun mendekat. Dan ternyata …. Yogi menghela nafas. Sebuah Alkitab tampak tergeletak di atas batu itu. Alkitab yang nyaris hancur itu ditemukan dalam keadaan terbuka. Dan lebih menajubkan lagi, bagian Alkitab yang terbuka itu menunjuk ke Kitab Ayub.

Alkitab yang selamat dari amukan banjir bandang dan reruntuhan batu di desa Waimatan, Lembata. Foto: Yogi Making

Keesokan harinya, Yogi mendeskripsikan pengalaman ini di laman facebook, katanya, “Sebuah Alkitab saya temukan terletak di atas batu di lokasi terdampak bencana [di] desa Waimatan, Kamis, 8/04/2021, kondisinya kotor, penuh lumpur, tetapi dalam posisi terbuka, persis pada Kitab Ayub yang menulis tentang ‘kesalehan Ayub dicobai’”. Yogi melanjutkan, “Seluruh harta Ayub dijarah dan dibakar, juga anak-anak Ayub habis tersapu badai. Dan Ayub dalam cobaan itu berkata, ‘Tuhan yang memberi Tuhanlah yang mengambil, terpujilah nama Tuhan.’”

Tafsiran Sederhana

Kalau kita perhatikan Kitab Ayub yang terbuka itu, tampak sebagian besar bab 1 dan dan sebagian besar bab 7. Itu artinya bab 2–6 dapat dipastikan sudah sobek dan rusak oleh bajir. Bab 1 dan bab 2 Kitab Ayub berbicara mengenai kesalehan Ayub dicobai, bab 3 tentang keluh kesah Ayub, bab 4–31 tentang percakapan Ayub dengan sahabat-sahabatnya. Khusus tentang bab 7 yang tampak pada foto, di situ dikisahkan bahwa “hidup itu berat”.

Apa arti semuanya ini? Saya mencoba menafsirkannya dari kacamata seorang beriman Katolik. Saya mengajukan 3 tafsiran berikut.

Pertama, Alkitab yang tidak hancur tetapi kotor dan berlumpur itu menggambarkan kehidupan kita sebagai umat Allah. Orang Waimatan yang seratus persen Katolik itu baru selesai merayakan malam Paskah. Sebagai manusia, mereka dan kita semua adalah makhluk berdosa. Kita kotor dan penuh lumpur (bdk lagu “Hanya Debulah Aku”, PS 481), tapi kita tidak akan hancur dan binasa. Banjir dan bencana adalah waktu Tuhan untuk menyucikan dan membersihkan kita. Barangkali seperti yang dikatakan Yesus kepada Petrus yang menolak kakinya dibasuh di malam perjamuan terakhir, “Tidak semua kamu bersih” (Yoh. 13:11).

Kedua, bab 1 Kitab Ayub tentang kesalehan Ayub dicobai sebagaimana tampak di foto itu hendak mengatakan apa? Emosi dan pikiran saya dibawa kepada saudara-saudara saya di desa Waimatan yang menjadi korban dan keluarga-keluarga mereka yang masih hidup. Banyak dari para korban itu adalah para suami, istri dan anak-anak, beberapa anak-anak kecil nan lugu, anak-anak remaja, kakek dan nenek, juga pasangan muda suami istri. Seperti yang juga dilakukan Ayub, keluarga yang ditinggalkan pasti mengajukan gugatan dan protes kepada Allah: mengapa saya, mengapa keluarga saya, mengapa anak-anak saya, mengapa suami/istri saya, mengapa orang tua saya, mengapa kampung kami, dan seterusnya.

Pertanyaan dan gugatan ini akan terus diajukan selama hidup. Akan menjadi pengalaman yang sangat pahit dan lirih jika tragedi ini dijadikan oleh orang/pihak tertentu untuk memperolok dan mempermalukan mereka yang terkena musibah.

Dalam situasi demikian, Kitab Ayub bab 1 yang terbuka itu mengingatkan kita untuk tidak berhenti pada level meratapi penderitaan atau pun menjauhkan diri dari Allah. Kita tampaknya diajak untuk terus membaca baris demi baris dari kitab Ayub itu untuk menemukan kebesaran hati Ayub: mengeluhkan tindakan Allah kepada orang benar (Ayub bab 16) adalah bagian dari dinamika iman, tetapi keyakinan bahwa Allah akan tetap berpihak (Ayub bab 19), bahwa Allah sebenarnya tidak acuh tak acuh melainkan peduli dan hadir (Ayub bab 24), bahwa kebesaran Allah tidak akan pernah terselami secara tuntas (Ayub bab 26), bahwa tujuan sengsara adalah pertobatan (Ayub bab 36), dan bahwa Allah akan memulihkan keadaan kita dan memperbaruinya (Ayub bab 42).

Ketiga, bab 7 dari Kitab Ayub yang terbuka itu mengafirmasi situasi hidup keseharian kita, baik itu sebelum maupun sesudah bencana alam. Bahwa hidup itu memang berat, bahwa hidup itu penuh cobaan. “Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan?” (Ayub 7:1) Orang-orang yang dekat dengan Allah saja mendapat cobaan bertubi-tubi, apalagi kita yang masih jauh dari Allah dan masih membanggakan kedosaan kita.

Hidup pasca bencana tidak akan pernah menjadi lebih ringan. Cobaan akan datang silih berganti. Cobaan Kesetiaan kita pada Allah pun akan selalu dipertaruhkan. Di situ kita mesti mengingat peristiwa Alkitab yang ditemukan nyaris hancur di atas batu di Desa Waimatan itu. Kita adalah insan yang kotor dan berdebu. Hidup kita akan terombang-ambing di tengah arus banjir dan percobaan, tetapi berita gembiranya adalah kepastian bahwa kita tidak akan pernah dihancurkan dan dibinasakan. Allah akan tetap menatang kita. Dia akan menolong dan memulihkan hamba-hamba-Nya, supaya kita tidak terus dipermalukan para penghina Tuhan (bdk 1Kor 10:13). Tuhan, terima kasih atas seluruh peristiwa alam ini. Jadikan kami umat yang senantiasa dekat, memuji dan memuliakan Dikau, kini dan sepanjang masa (bdk Mz 62: 2-3). Amin

Adven Bunda Maria Bunda Maria dari Fatima Doa Katolik dosa dosa berat dosa ringan hari minggu gaudete homili Katolik homili paus fransiskus Katekese keberanian kebijaksanaan Kesaksian Keuskupan Agung Jakarta keutamaan keutamaan Katolik keutamaan keadilan keutamaan keberanian keutamaan kebijaksanaan keutamaan moral keutamaan teologis martir masa adven Mgr. I. Suharyo minggu palma nafsu seks nama baptis oscar romero paroki tomang paus fransiskus pekan suci pengendalian diri perayaan ekaristi politik Katolik puasa rabu abu rekoleksi renungan Katolik Salib Santo Oscar Romero tanda salib tujuh dosa mematikan tujuh dosa pokok Vatican

Merayakan Paskah dalam Pengalaman Pengampunan

Hari-hari selama pekan suci adalah momen doa dan refleksi. Selain berpartisipasi aktif dalam setiap perayaan gerejani, kita bisa mengisi waktu kita dengan berbagai bacaan rohani, kitab suci, mendengarkan lagu-lagu rohani dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya di keluarga kita masing-masing.

Saya menyempatkan diri membaca beberapa tulisan rohani mengenai penderitaan/salib, wafat dan kebangkitan Tuhan, dan salah satu yang menarik bagi saya adalah buku berjudul The 10 Best Books to Read for Easter: Selections to Inspire, Educate, and Provoke. Buku edisi kindle ini diterbitkan oleh HarperOne, sebuah anak penerbit (imprint) dari Penerbit HarperCollins, yang khusus fokus pada buku-buku agama dan spiritualitas.

Buku yang adalah kumpulan karangan ini sebenarnya diambil dari berbagai bab buku yang pernah diterbitkan sebelumnya oleh kelompok HarperCollins, yakni (1) Together on Retreat: Meeting Jesus in Prayer karya Pastor James Martin, SJ: (2) Mere karya C.S. Lewis; (3) Simply Jesus karya N.T. Wright; (4) Made for Goodnes yang ditulis bersama oleh Desmond Tutu dan Mpho Tutu; (5) Not Less Than Everything karya Catherine Wolff; (6) The Myth of Persecution karya Candida Moss; (7) The Greatest Prayer karya John Dominic Crossan; (8) God Wants You Happy yang ditulis oleh Pastor Jonathan Morris; (9) Will There be Faith? karya Thomas G. Groome; (10) The Jesuit Guide to (Almost) Everything karya Pastor James Martin, SJ.

Buku yang diedit P. James Martin, SJ ini cocok dibaca selama pekan suci dan masa paskah.

Menurut saya, buku ini menarik dan cocok dibaca selama pekan suci dan minggu-minggu Paskah karena tiga alasan utama. Pertama, dihimpun dan diberi pengantar oleh James Martin, SJ, seorang imam Yesuit asal Amerika Serikat yang sangat terkenal. Dia seorang tokoh publik (public figure) dengan ratusan ribu followers di media sosial, sering menjadi narasumber di media-media mainstream di AS ketika membicarakan isu-isu kegerejaan. Selain itu, James Martin juga seorang penulis yang karya-karyanya seperti Learning to Pray (2021), Seven Last Words: An Invitation to a Deeper Friendship With Jesus (2016), The Jesuit Guide to (Almost) Everything (2010) dan banyak buku lainnya adalah The New York Times Bestselling. Jadi, dapat dikatakan bahwa sosok James Martin menjamin kualitas konten dan tingkat keterjualan buku ini.

Kedua, buku ini diedarkan secara gratis dalam versi kindle. Jadi, dapat diakses secara luas oleh umat Kristiani ketika mempersiapkan diri melalui jalan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Meskipun demikian, sebagaimana juga dikatakan James Martin dalam kata pengantar, hal yang gratis itu tidak identik dengan murahan. Nukilan-nukilan bab dalam buku ini justru membantu kita mempersiapkan diri merayakan minggu Paskah dan hari-hari Minggu setelah Paskah.

Ketiga, saya sendiri mengusulkan teman-teman pendengar/pemirsa untuk mengunduh buku ini dari website libgen.rs dengan cara membuka website tersebut (http://libgen.rs) lalu mengetik frasa “James Martin, SJ” di papan pencari. Rekan-rekan akan diarahkan ke buku tersebut dan buku-buku lainnya yang ditulis James Martin. Silakan mengunduh buku tersebut ke perangkatmu (gawai, laptop atau pc). Jika tidak memiliki aplikasi atau pembaca kindle, teman-teman bisa mengunggah file buku tersebut ke google play book. Buku ini sudah dalam format epub, jadi akan sangat enak dan nyaman untuk dibaca di google play book yang ada di gawai atau laptop teman-teman.

P. James Martin, SJ, tokoh publik dan penulis buku-buku terlaris di Amerika Serikat.

***

Untuk saat ini, saya ingin membagi apa yang saya baca dari nukilan buku Pastor James Martin, SJ yang diambil dari buku Together on Retreat: Meeting Jesus in Prayer, terutama dari bab 6 buku tersebut yang dia beri judul “The Breakfast by the Sea”. Konteksnya adalah perikop Injil Yohanes 21: 1-19, yakni kisah mengenai Yesus menampakan diri kepada murid-murid-Nya di Pantai Danau Tiberias, dan perintah Yesus kepada Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Tentang hal ini, saya mau membagikan 5 poin refleksi dari tulisan James Martin tersebut serta refleksi saya sendiri.

Pertama, para murid Yesus yang adalah para nelayan itu berada dalam pengalaman kekecewaan yang sangat besar setelah peristiwa sengsara dan wafat Yesus. James Martin menggunakan kata demoralized yang memang cocok menggambarkan pengalaman ini. Singkatnya, Yesus yang selama ini mereka andalkan ternyata mengalami kematian seperti penjahat.

Kedua, para murid itu melewati malam-malam di danau tanpa menangkap seekor ikanpun. Dengan ini, James Martin mau menegaskan bahwa bahkan setelah para murid itu mengikuti seluruh karya Yesus dan mengalami kehadiran Allah, mereka tetaplah orang-orang tanpa pengalaman rohani.

Ketiga, kisah itu memperlihatkan betapa para murid tidak bisa apa-apa tanpa Yesus. Pada saat Yesus menampakan diri-Nya dan memerintahkan para murid menebarkan jala ke sebelah kanan perahu yang berujung pada tangkapan yang melimpah, para murid diliputi perasaan kegembiraan yang luar biasa. Petrus langsung meloncat ke danau untuk menghampiri dan menyalami Yesus.

Keempat, penekanan pada pertanyaan “apakah engkau mengasihi Aku” sebanyak tiga kali mengingatkan penyangkalan Petrus di malam penangkapan dan pengadilan Yesus. Dalam konteks ini, Petrus adalah murid yang sangat terluka tetapi kemudian dipulihkan. Dia melewati pengalaman sakit karena telah menyangkal guru dan Tuhannya kepada sukacita karena telah diampuni. Petrus kemudian menerima tanggung jawab untuk menggembalakan domba-domba karena pengalaman pengampunan telah menyembuhkan dan memulihkan relasi dengan Tuhan. Petrus dan para murid lainnya dipulihkan, kembali kepada komunitas dan memulai hidup baru sebagai orang-orang Kristen yang disatukan oleh warta kebangkitan Tuhan.

Kelima, dalam tulisannya itu, James Martin memberi fokus pada dimensi pengampunan (forgiveness). Bagi dia, seluruh sukacita kebangkitan tidak akan menjadi kabar sukacita bagi kita, jika relasi kita dengan Kristus tidak dibangun di atas pengalaman pengampunan. Ini adalah pengalaman kerapuhan kita ketika sebagai orang berdosa, kita mengalami apa yang telah dialami para murid Yesus. Sama seperti mereka, kita telah merayakan Paskah, tetapi kemudia kembali kepada kehidupan lama kita. Kita bisa menjadi orang-orang yang kecewa, putus asa, hilang harapan, dan dalam arti itu, kita sebenarnya tidak mengalami kebangkitan Kristus. Alih-alih membebaskan dan membawa sukacita, Paskah justru membuat kita semakin terpuruk dan terkungkung dalam pengalaman kekeringan rohani, pengalaman melewati malam-malam tanpa satu tangkapan ikan pun.

Baca juga…

***

Saya sepakat dengan apa yang dikatakan James Martin dalam tulisannya ini. Bagi saya, Paskah adalah pengalaman kegembiraan luar biasa, apa yang ilustrasikan James Martin sebagai overjoyed. Inilah pengalaman di mana sukacita kita mendapatkan kepenuhan sejati, karena (1) telah runtuh dan terhapusnya dosa dan semua salah kita oleh kemurahan hati Allah melalui sengasara, wafat, dan kebangkitan Putra-Nya; dan (2) sukacita yang dibagikan dan dialami bersama orang-orang di sekitar kita, mulai dari keluarga dan komunitas Kristiani dan perlahan-lahan meluas ke seluruh masyarakat.

Bagi saya, sukacita Paskah itu selalu berwajah ganda: pengalaman diampuni oleh Tuhan sendiri dan pengalaman mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Selamat merayakan Paskah!

Paus Fransiskus Mendoakan Korban Bom Makassar

Seusai memimpin misa Minggu Palma di Vatican tanggal 28 Maret 2021 dan beberapa saat sebelum Doa Malaikat Tuhan, Paus Fransiskus berdoa dan mengundang umat yang hadir untuk mendoakan korban bom di Makassar, Indonesia. Dalam kesempatan yang sama, Paus Fransiskus juga mengingatkan kita semua akan krisis ekonomi yang semakin berat di tahun kedua pandemi ini. Paus Fransiskus mengatakan, bahwa sama seperti Tuhan Yesus dan Bunda Maria, kita semua bisa memikul salib harian kita dengan senantiasa juga terus menatap ribuan sama saudara yang juga sedang dalam kesusahan.

Itulah 2 pesan kuat dari Paus Fransiskus seusai misa, yakni mendoakan para korban bom di Makassar dan undangan untuk bersolider dengan sama saudara selama masa pandemic ini. Di hadapan segelintir umat, para biarawan-biarawati, para seminaris, para pastor, dan para Kardinal yang hadir dan ikut merayakan Minggu Palma, Paus Fransiskus mengatakan, bahwa penderitaan yang ditimbulkan oleh bom seperti yang terjadi di Makassar dan juga pandemi yang sudah mencapai dua tahun ini sangat berat. Itu karena tidak hanya merusak fisik, tetapi juga menggangu psikis. Paus melihat bahwa yang terjadi adalah roh jahat. Itulah Iblis yang mencoba mengambil kesempatan di tengah krisis yang sedang dihadapi. Dan itu dilakukan hanya untuk menimbulkan saling curiga, putus asa, dan kekacauan.

Sebelum memberikan berkat suci di akhir misa Minggu palma itu, Paus Fransiskus mengatakan:

“Mari kita doakan semua korban kekerasan, khususnya yang terjadi dalam penyerangan pagi ini di Indonesia, di depan Katedral Makassar. Semoga Bunda Maria, yang selalu mendahului kita di jalan iman, menolong kita semua.”

9 Hal Tentang Hari Minggu Palma

Hari Minggu palma menandai dimulainya pekan sengsara Yesus sebelum kebangkitan-Nya. Perayaan hari Minggu palma dan hari-hari selama Pekan Suci memiliki tradisi dan makna yang dapat memperteguh iman kita.

Berikut adalah 9 hal yang sebaiknya kita ketahui tentang hari Minggu palma.

1. Namanya Hari Minggu Palma atau Minggu Sengsara

Disebut hari Minggu Palma karena memperingati masuknya Yesus ke kota Yerusalem dalam kemegahan-Nya di mana Dia dan para murid-Nya disambut gegap-gempita oleh warga sambil memegang daun palma di tangan (Yohanes 12:13).

Disebut hari Minggu sengsara karena dalam perayaan Ekaristi di hari itu, kisah sengsara Tuhan Yesus dibacakan. Di hari Minggu berikutnya tidak akan dibacakan karena itu adalah hari Minggu Paskah.

Dokumen Paschales Solemnitatis menegaskan, “Pekan Suci dimulai pada “Minggu Sengsara (atau Palma)” yang menghubungkan nubuat kemenangan agung Kristus dengan warta sengsara-Nya. Dalam perayaan Minggu palma, kedua aspek Misteri Paskah, yakni kemenangan dan sengsara ditunjukkan dalam perayaan hari Minggu palma.”

2. Perayaan Minggu palma diawali dengan perarakan dari luar gedung gereja

Mengapa perayaan hari minggu palma diawali dengan perarakan dari luar gedung gereja? Menurut dokumen Paschales Solemnitatis, Peringatan masuknya Tuhan Yesus ke Yerusalem memang dirayakan dalam perarakan meriah dan khusuk dari luar gereja. Selama perarakan itu, umat beriman menyanyikan lagu “Hosana”, melambai-lambaikan daun palma sambil tubuhnya bergerak menirukan anak-anak Ibrani yang datang berkerumun menyambut kedatangan Tuhan.

3. Tidak harus daun palma

Dalam perayaan itu, apakah kita HARUS menggunakan daun palma? Bagaimana jika daun palma tidak tersedia di tempat itu?

Daun palma tidak wajib digunakan. Sebagai gantinya, kita bisa menggunakan ranting pohon lainnya yang penting warnanya hijau. Di Israel orang biasa menggunakan ranting-ranting pohon Zaitun. Menurut Direktori Kesalehan Populer dan Liturgi:

Inti dari prosesi ini adalah memperingati masuknya warta Penebusan Kristus ke Yerusalem. Jadi perayaan ini harus kelihatan warna gembira dan populer. Nyanyian meriah lagu Hosana, lambaian daun-daun berwarna hijau, dan gerakan badan menandai kemeriahan itu.

4. Jangan Membuang Daun Palma seusai perayaan

Setelah misa hari Minggu palma, apakah daun palma boleh kita buang? Daun palma, daun zaitun atau daun-daun pohon hijau lainnya yang digunakan dalam perayaan itu tidak boleh dibuang. Bawalah pulang ke rumah. Tetapi jangan diperlakukan sebagai benda sakral, benda jimat, magis, atau benda pengusir setan. Praktik semacam ini adalah tahayul.

Daun-daun itu disimpan baik-baik di rumah sebagai simbol dan saksi iman akan pesan keselamatan Yesus yang dilalui dengan sengsara dan penderitaan.

5. Yesus mengklaim hak-hak raja

Menurut Paus Emeritus Benediktus XVI, pawai meriah masuknya Yesus ke Yerusalem adalah klaim Yesus atas haknya sebagai raja. Ini nampak dari praktik yang telah bertahun-tahun ada, yakni ketika Yesus meminta disediakan baginya sebuah kendaraan transportasi. Dan yang mencolok, kendaraan itu adalah seekor keledai yang belum pernah digunakan. Dengan ini Yesus juga mau menegaskan bahwa nubuat yang pernah disampaikan dalam Perjanjian Lama kini mengalami kepenuhan dalam diri-Nya.

Untuk saat ini mari kita perhatikan ini: Yesus memang membuat klaim kerajaan. Dia ingin jalan dan tindakannya dipahami dalam kerangka janji-janji Perjanjian Lama yang digenapi dalam dirinya. . . .

Dengan menambahkan teks Zakharia 9:9 ke dalam peristiwa ini, tampaknya ditegaskan bahwa kerajaan yang hendak dibangun Yesus itu tidak berdasarkan kekerasan. Pendirian Kerajaan-Nya itu tidak memicu pemberontakan militer melawan Roma. Yesus memproklamasikan kekuasaan yang berbeda: sebuah kerajaan di mana seseorang dapat diselamatkan dalam ketundukkan dan kesetiaannya kepada Tuhan yang miskin dan Allah yang membawa damai sejahtera [Benediktus XVII dalam buku Jesus of Nazareth, Jilid. 2].

6. Warga Yerusalem membentangkan pakaiannya di jalanan

Penyambutan Yesus sungguh luar biasa. Selain berteriak dan bernyanyi, mereka juga membentangkan pakaiannya di jalan. Paus Emeritus Benediktus XVI mengartikan hal ini secara bagus:

Tindakan membentangkan pakaian di jalanan sebenarnya adalah tradisi Kerajaan Israel (lih. 2Raja-raja 9:13). Apa yang dilakukan para warga menyimbolkan penganugerahan dan penobatan seorang raja dalam tradisi kerajaan Daud. Dan itu mengekspresikan suatu harapan Mesianik yang tumbuh dari tradisi Daud. Para peziarah yang membanjiri Yerusalem karena hendak merayakan Paskah di sana juga ikut dalam antusiasme penyambutan itu. Mereka ikut membentangkan pakaian di jalan dan meneriakkan ayat-ayat dari Mazmur 118. Itu adalah ayat-ayat yang digunakan dalam liturgi peziarahan orang Israel. Melantunkan ayat-ayat itu, mereka sekaligus mewartakan kabar keselamatan yang sedang datang: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita Daud, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Mrk 11: 9-10; lih. Mz 118: 26).

7. Hosana itu seruan memohon keselamatan

Para warga menyambut Yesus sambil menyanyikan “Hosana”. Apa artinya? Paus Emeritus Benediktus XVI menuliskannya dalam bukunya: semula kata “Hosana” adalah sebuah doa permohonan sembari mendesak Allah. Biasanya para imam mengitari altar pengorbanan selama 7 kali di hari raya Pondok Daun sambil menyerukan kata “Hosana” yang artinya “Bersegeralah menyelamatkan kami!” Hari Raya Pondok Daun berangsur-angsur berubah dari pesta petisi atau seruan keselamatan menjadi salah satu pujian. Ketika itu pula seruan minta pertolongan itu berubah menjadi teriakan kegembiraan.

Di zaman Yesus, kata “Hosana” juga memiliki nuansa Mesianik. Dalam aklamasi Hosana, kita menemukan ungkapan emosi yang riuh dan ramai dari para peziarah yang menyertai Yesus dan murid-muridnya ketika memasuki Yerusalem. Dan ini menggambarkan betapa pujian sukacita kepada Tuhan selama perarakan itu adalah sebuah harapan bahwa jam-jam datangnya keselamatan atau waktu penebusan Kristus sedang dan telah tiba. Pada saat yang sama ini juga menjadi doa agar kerajaan Daud dan kerajaan Allah atas Israel segera akan ditegakkan kembali.

8. Warga yang menyambut Yesus di gerbang kota Yerusalem bukanlah warga yang berteriak meminta Yesus disalibkan

Apakah warga yang menyambut dalam sukacita ketika memasuki kota Yerusalem adalah warga yang sama yang mendesak Pilatus agar Yesus disalibkan? Paus Emeritus Benediktus XVI menulis dalam bukunya, ketiga Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) serta Yohanes menegaskan bahwa suana sukacita menyambut Yesus masuk Yerusalem adalah penghormatan Mesianik kepada Yesus, dan warga yang memberikan penghormatan itu BUKAN penduduk Yerusalem. Mereka adalah bagian dari orang banyak yang datang berziarah, lalu ikut menyertai Yesus memasuki Kota Suci.

Matius Penginjil menyebutkan secara jelas dalam Injilnya di bab 21: 10-11: Dan ketika Ia masuk ke Yerusalem, gemparlah seluruh kota itu dan orang berkata: “Siapakah orang ini?” Dan orang banyak itu menyahut: “Inilah nabi Yesus dari Nazaret di Galilea.”

9. Kisah Sengsara Tuhan Yesus dinyatakan dalam perayaan Ekaristi di hari Minggu Palma

Menurut dokumen Paschales Solemnitatis, kisah sengsara Tuhan mendapat tempat istimewa dalam perayaan hari Minggu palma. Kisah itu dapat dinyanyikan atau dibacakan oleh 3 orang, yakni seorang yang memainkan peran sebagai Yesus (biasanya imam atau diakon), seorang narator dan umat (sering anggota koor mewakili umat).

Pemakluman atau warta sengsara Yesus itu hendaknya tanpa lilin dan dupa. Salam sebelum pembacaan Injil juga ditiadakan. Para narator tetap meminta berkat kepada pastor sebelum membaca kisah sengsara Tuhan. Kisah sengsara Tuhan sebaiknya dibacakan secara utuh. Bacaan sebelum kisah sengsara Tuhan tidak boleh dihilangkan.

Demikianlah 9 ekspresi iman yang baik untuk diketahui dan dihayati. Selamat memasuki Pekan Suci dalam ziarah kita merayakan Paskah. Tuhan Yesus memberkati!

Warta Kelahiran Versus Glorifikasi Kematian

Mungkinkah merayakan kelahiran dengan merenungkan kematian? Pikiran umum akan menolaknya. Kita terbiasa mengucapkan “selamat ulang tahun, panjang umur, sehat, dan sukses” karena itulah wujud kehidupan. Kematian itu momen menakutkan, meskipun setiap orang tahu itu sebagai ujung peziarahan hidupnya. Kematian dianggap sebagai penghalang kehidupan bermakna.

Victor Frankle (1905–1997), seorang penyintas Holocaust asal Austria menyanggah hal ini ketika dia mengatakan bahwa kesadaran akan kematian justru menjadi titik refleksi dan rancangan kehidupan yang penuh makna. Frankle menuliskannya dengan sangat indah, “Akan seperti apa hidup kita jika tidak terbatas dan dibatasi waktu? Jika kita hidup dalam keabadian, kita pasti akan mampu menunda setiap tindakan. Tidak akan ada dampaknya apakah kita melakukan sesuatu sekarang atau besok atau lusa atau satu tahun dari sekarang atau sepuluh tahun kemudian. Tetapi menghadapi kematian sebagai batas mutlak masa depan kita dan batas kemungkinan kita, kita berada di bawah keharusan untuk memanfaatkan masa hidup kita secara maksimal, tidak membiarkan kesempatan sekecil apapun – yang jumlah ‘terbatas’ dibandingkan dengan keseluruhan hidup – berlalu sia-sia” (David Benatar, Life, Death, and Meaning: Key Philosophical Readings on the Big Questions, 2016: 72).

Tapi apakah logika yang sama dapat kita gunakan untuk memberi makna pada kematian 25.082 orang yang meninggal di seluruh dunia tahun 2019 karena aksi terorisme? Atau atas 32.836 orang di tahun 2018 yang mati sia-sia di tangan para pemburu surga? Data Statista.com bulan Desember 2020 menunjukkan bagaimana ribuan orang tak berdosa telah meregang nyawa sejak tahun 2006 karena aksi brutal para teroris. Demikianlah, ribuan warga tak berdosa yang tewas sejak tahun 2006 karena aksi terorisme berturut-turut 20.487 (2006), 22.719 (2007), 15.708 (2008), 15.310 (2009), 13.186 (2010), 12.533 (2011), 11.098 (2012), 18.066 (2013), 32.763 (2014), 29.424 (2015), 25.722 (2016), dan 18.753 (2017). Mempertimbangkan Survei Gallup tahun 2013, bahwa 34 persen warga hidup dalam ketakutan akan bahaya terorisme dan kematian, pertanyaan itu sulit menemukan afirmasinya.

Di titik inilah kita seharusnya memberi makna tambahan pada refleksi Victor Frankle itu persis ketika pertanyaan soal bagaimana seseorang akan mati juga faktor penting yang harus dipertimbangkan. Saya teringat akan kegundahan Crito, sahabat Socrates yang merasa gagal meyakinkan Socrates agar mau melarikan diri dari hukuman mati. Crito bahkan telah mengatur segala hal yang dibutuhkan – perjalanan, penginapan, kendaraan, dan logistik lainnya – asal Socrates mau melarikan diri dari Athena. Reaksi Socrates atas siasat Crito ini memberi tambahan refleksi pada apa yang dikatakan Victor Frankle sekaligus juga antites terhadap glorifikasi kematian yang dianut para teroris dan pembenci kehidupan. Kita memang tidak memiliki kuasa atas kehidupan, tetapi kita memiliki seluruh kesempatan untuk mengisinya secara bermartabat, apa yang dalam pemikiran Socrates adalah mengetahui yang baik dan hidup menurutnya. Orang yang mati dalam ketidaktahuannya akan hal yang baik dan yang gagal memraktikkannya adalah orang yang telah menyia-nyiakan kehidupannya sendiri. Kematian bagi Socrates sama sekali bukan menjadi hal yang menakutkan, tetapi momen yang dirindukan, bukan karena kematian itu sendiri sebagai alat yang mengakhiri kehidupan, tetapi yang menggenapi kehidupan.

Pemaknaan kehidupan dan kematian ini persis berbeda dengan para pemuja kematian lewat jalan kemartiran. Sama seperti Socrates, bisa jadi mereka tidak gentar sedikitpun di hadapan maut yang menjemput. Yang membedakan adalah sikap dan praktik memaknakan kehidupan. Seorang Socrates mengglorifikasi kematian sama seperti dia mengagungkan kehidupan. Menjadi baik adalah mengetahui yang baik dan menjalankannya. Menjadi bermakna adalah hidup dalam kelemahlembutan, keberanian, keugaharian, simpati dan kasih kepada orang lain. Sebaliknya, para teroris berhenti di depan pintu kematian setelah memberangus seluruh kehidupan. Mereka membangun imajinasi surgawi di atas penderitaan, kehancuran, kepedihan mendalam sesama manusia.

Hidup dalam Kebajikan

Di titik inilah kita seharusnya memberi makna tambahan pada refleksi Victor Frankle itu persis ketika pertanyaan soal bagaimana seseorang akan mati juga faktor penting yang harus dipertimbangkan. Saya teringat akan kegundahan Crito, sahabat Socrates yang merasa gagal meyakinkan Socrates agar mau melarikan diri dari hukuman mati. Crito bahkan telah mengatur segala hal yang dibutuhkan – perjalanan, penginapan, kendaraan, dan logistik lainnya – asal Socrates mau melarikan diri dari Athena. Reaksi Socrates atas siasat Crito ini memberi tambahan refleksi pada apa yang dikatakan Victor Frankle sekaligus juga antites terhadap glorifikasi kematian yang dianut para teroris dan pembenci kehidupan. Kita memang tidak memiliki kuasa atas kehidupan, tetapi kita memiliki seluruh kesempatan untuk mengisinya secara bermartabat, apa yang dalam pemikiran Socrates adalah mengetahui yang baik dan hidup menurutnya. Orang yang mati dalam ketidaktahuannya akan hal yang baik dan yang gagal memraktikkannya adalah orang yang telah menyia-nyiakan kehidupannya sendiri. Kematian bagi Socrates sama sekali bukan menjadi hal yang menakutkan, tetapi momen yang dirindukan, bukan karena kematian itu sendiri sebagai alat yang mengakhiri kehidupan, tetapi yang menggenapi kehidupan.

Pemaknaan kehidupan dan kematian ini persis berbeda dengan para pemuja kematian lewat jalan kemartiran. Sama seperti Socrates, bisa jadi mereka tidak gentar sedikitpun di hadapan maut yang menjemput. Yang membedakan adalah sikap dan praktik memaknakan kehidupan. Seorang Socrates mengglorifikasi kematian sama seperti dia mengagungkan kehidupan. Menjadi baik adalah mengetahui yang baik dan menjalankannya. Menjadi bermakna adalah hidup dalam kelemahlembutan, keberanian, keugaharian, simpati dan kasih kepada orang lain. Sebaliknya, para teroris berhenti di depan pintu kematian setelah memberangus seluruh kehidupan. Mereka membangun imajinasi surgawi di atas penderitaan, kehancuran, kepedihan mendalam sesama manusia.

Victor Frankle dan para pemikir lainnya benar ketika memosisikan faktisitas kematian sebagai lokus untuk menghayati kehidupan secara bermakna. Tetapi sikap positif terhadap kehidupan adalah sisi lain yang juga penting dari koin yang sama. Socrates membawa kita kepada sikap positif atas kehidupan itu dalam arti menjalani hidup dalam keutamaan sebagai cara mengisi ruang kosong antara kehidupan dan kematian.

Hadirnya Sang Kehidupan

Kelahiran Yesus Kristus – Isa Almasih – sama seperti jutaan kelahiran lain adalam momentum untuk merayakan kehidupan tetapi sekaligus kematian persis ketika kehidupan sebagai faktisitas mengalami keterlemparannya ke dalam ruang berbatas. Kehidupan dalam ruang berbatas itu adalah penghayatan menuju kematian, dan dalam jalan hidup yang ditawarkan Socrates, adalah merenungkan kebajikan dan menjalankannya.

Lebih dari itu, kelahiran Yesus Kristus, sebagai Nabi dan Tuhan (bagi orang Kristiani) adalah pengagungan kehidupan dalam artinya yang paripurna. Warta gembira para malaikat adalah kabar sukacita bahwa Allah memutuskan untuk datang dan tinggal bersama manusia (Immanuel). Keputusan itu menjungkirbalikkan baik alam pikir para pemuja kematian (para martir dan teroris) maupun alam pikir filosofis yang diusung Socrates.

Catatan kepada para martir dan teroris adalah catatan yang paling buram dan gelap. “Tuhan telah ada di antara kita dan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kita, mengapakah engkau memburu surga dengan menghancurkan kehidupan?” Membunuh kehidupan dan merebut nyawa tak berdosa sama dengan menghancurkan Sang Hidup yang sudah tinggal di antara manusia. Sementara kepada Socrates kita menemukan setengah jalan kepada Tuhan (baca: menemukan Tuhan). Hidup yang baik dan berkeutamaan sebagaimana dikampanyekan Socrates memang menjadi jalan mencapai Tuhan. Dia yang telah ada di antara kita akan menggenapinya, sehingga kepenuhannya akan menjadi paripurna.

Jalan yang dilalui Socrates adalah setengah jalan menuju Tuhan, sementara jalan yang dilalui para martir dan teroris tidak akan membawa kita kemanapun. Surga yang dirindukan adalah angan-angan yang tak mungkin tercapai jika itu melalui pemberangusan kehidupan. Dia yang kini hadir di antara kita menegaskan itu: Aku datang supaya kamu memperoleh hidup dalam kepenuhannya (bdk Yoh. 10:10. Selamat merayakan Natal 2020!

St. Yohanes Bosco Bapa Kaum Muda

Peringatan Liturgi: 31 Januari

Pelindung: mereka yang sedang magang, para editor dan penerbit, anak sekolah, pesulap, dan remaja nakal

Kelahiran: 16 Agustus 1815

Kematian: 31 Januari 1888

Dibeatifikasi: 2 Juni 1929 oleh Paus Pius XI

Dikanonisasi: 1 April 1934 oleh Paus Pius XI

Populer dengan nama Don Bosco, Santo Yohanes Bosco yang nama lengkapnya adalah Giovanni Melchiorre Bosco ini lahir di Becchi, Italia, pada tanggal 16 Agustus 1815. Kelahirannya datang tepat setelah berakhirnya Perang Napoleon yang melanda daerah tersebut. Meskipun demikian, keadaan belum benar-benar membaik di daerah Becchi, Italia. Pasalnya, Don Bosco lahir ketika kemarau panjang dan kelaparan sedang melanda wilayah itu.

Pada usia dua tahun, John kehilangan ayahnya karena meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, John kecil dan dua kakak laki-lakinya diasuh oleh ibunya, Margherita. “Mama Margherita Occhiena” telah dinyatakan sebagai orang yang dihormati alias venerable oleh Gereja pada tahun 2006. Ini adalah tangga pertama menuju kanonisasi sebagai orang kudus dalam Gereja Katolik.

Rumah di Becchi, tempat lahir Yohanes Bosco.

Dibesarkan terutama oleh ibunya, John rutin menghadiri perayaan ekaristi di gereja dan menjadi seorang anak yang sangat saleh. Ketika dia tidak ada di gereja, dia membantu keluarganya menanam tanaman bahan makanan dan memelihara domba. Yohanes Bosco dan keluarganya tergolong keluarga sangat miskin. Meskipun begitu, ibunya selalu punya cara untuk mendapatkan cukup uang, tidak hanya untuk menopang kehidupan mereka, tetapi juga untuk berbagi dengan para tunawisma yang kadang-kadang datang ke pintu rumah mereka, mencari makanan, tempat berteduh atau pakaian.

Ketika berusia sembilan tahun, Yohanes Bosoco mengalami mimpi pertama dari beberapa mimpi mendekati pewahyuan yang akan memengaruhi kehidupan pribadinya. Dalam mimpinya itu Yohanes Bosco kecil bertemu dengan banyak anak laki-laki yang sedang bermain sambil mengumpat dan mengeluarkan kata-kata kotor dan jorok. Tiba-tiba dari antara anak laki-laki yang sedang bermain itu, dia menemukan dirinya berdiri di hadapan seorang pria dan wanita yang agung dan mulia. Tiba-tiba pria agung itu mengatakan kepada Yohanes Bosco dia hanya bisa “menaklukkan teman-temanmu ini” atau memenangkan hati anak-anak nakal dan badung itu dalam sifat kelembutan dan kemurahan hati. Pria agung itu juga berkata, “Jadilah kuat, rendah hati dan tegar. Ketika waktunya tiba, kamu akan memahami segalanya.” Mimpi ini memengaruhi John selama sisa hidupnya.

Tidak lama kemudian, Yohanes Bosco menyaksikan rombongan keliling pemain sirkus. Dia terpesona oleh trik sulap dan akrobat mereka. Yohanes Bosco menyadari jika dia mempelajari trik mereka, dia bisa menggunakannya untuk menarik orang lain dan menarik perhatian mereka. Dia kemudian mempelajari trik para pesulap keliling itu dan bagaimana mempraktikkannya sendiri.

Jasad St. Yohanes Bosco masih utuh dan tersimpan di Basilika Maria Penolong Umat Kristiani di Turin, Italia. Foto: Yeremias Jena.

Suatu Minggu malam, Yohanes Bosco menggelar pertunjukan sulap di hadapan sekelompok anak-anak yang bermain dengannya. Pertunjukkan sulap ini mendapat sambutan dan tepuk tangan yang meriah. Di akhir pertunjukan, dia mengulangi inti homili yang dia dengar pada hari sebelumnya dalam perayaan misa di gereja. Yohanes Bosco kemudian mengakhiri pertunjukan sulapnya dengan mengundang para penonton untuk berdoa bersamanya. Pertunjukan dan permainannya selalu diulanginya, termasuk juga menyampaikan isi homili dan ajakan untuk berdoa. Selama waktu inilah Yohanes Bosco kecil mulai memahami panggilan untuk menjadi seorang imam.

Untuk menjadi seorang imam Katolik, Yohanes Bosco membutuhkan pendidikan. Padahal dia berasal dari keluarga miskin. Kendala ini tampak teratasi ketika dia berkenalan dan dekat dengan seorang imam yang bersedia mendampingi dan membimbingnya. Imam itu juga memberi Yohanes Bosco beberapa buku untuk dibaca dan juga bantuan keuangan. Di rumah, kakaknya laki-laki menjadi marah karena Yohanes Bosco membaca buku dan tidak bekerja membantu mereka di ladang. Kakak laki-laki itu tidak segan-segan mencambuk Yohanes Bosco sambil mengingatkannya bahwa dirinya juga adalah “petani seperti kita!”

Menghadapi sikap kasar kakanya, Yohanes Bosco sama sekali tidak terpancing. Dia bahkan menemukan alasan untuk meninggalkan rumah dan mencari pekerjaan sebagai buruh tani yang disewa. Yohanes Bosco baru berusia 12 tahun ketika dia pergi meninggalkan rumah. Keputusan ini memang dipercepat karena permusuhannya dengan saudaranya.

Meskipun mengalami kesulitan mencari pekerjaan, Yohanes Bosco  akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah kebun anggur. Dia bekerja di sana selama dua tahun sebelum akhirnya bertemu dengan Yosef Cafasso, seorang imam yang bersedia membantunya. Di kemudian hari Cafasso dikenal sebagai orang kudus. Sebagai imam, Yosef Cafasso terutama melayani para tahanan dan orang yang dihukum.

Pada tahun 1835, Yohanes Bosco masuk seminari dan setelah enam tahun belajar dan persiapan, dia ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1841.

Sebagai imam muda, Yohanes Bosco diutus pertama kali ke kota Turin. Turin pada waktu itu adalah sebuah kota industri. Kota ini berada dalam pergolakan industrialisasi sehingga memiliki daerah kumuh dan kemiskinan yang meluas. Di lingkungan miskin inilah Yohanes Bosco, yang setelah menjadi imam dikenal dan dipanggil dengan nama Pastor Bosco, mulai berkarya dengan dan di antara anak-anak orang miskin.

Ketika berkunjung ke penjara, Pastor Bosco memperhatikan dan menyadari betapa ada banyak anak laki-laki yang dipenjara. Usia mereka antara usia 12 dan 18 tahun. Kondisi mereka sangat menyedihkan. Pastor Bosco merasa tergerak hatinya untuk berbuat lebih banyak demi membantu anak laki-laki lainnya agar hidup mereka tidak berakhir di penjara.

Pastor Bosco tidak menunggu lama. Dia langsung turun ke jalan dan mulai bertemu dengan pemuda dan pemudi di tempat mereka bekerja dan bermain. Pastor Bosco memanfaatkan betul bakatnya sebagai penghibur dan pemain sulap. Dia menampilkan berbagai trik demi menarik perhatian anak-anak, sebelum akhirnya dia menyampaikan pesan rohani kepada anak-anak untuk hari itu.

Ketika tidak berkhotbah, Pastor Bosco bekerja tanpa lelah mencari pekerjaan untuk anak laki-laki yang membutuhkannya. Dia juga rajin mencari rumah singgah bagi anak-anak lainnya. Ibunya, Mama Margherite mulai membantunya. Pada tahun 1860-an, Pastor Bosco dan ibunya bertanggung jawab dalam menampung 800 anak laki-laki.

Pastor Bosco juga melalukan negosiasi dengan pihak terkait tentang hak baru bagi anak laki-laki yang dipekerjakan sebagai pekerja magang. Masalah yang umumnya dihadapi adalah pelecehan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak-anak buruh magang. Majikan mereka menggunakan mereka melakukan kerja manual dan pekerjaan kasar yang tidak terkait dengan magang mereka. Pastor Bosco menegosiasikan kontrak yang melarang penyalahgunaan semacam itu. Langkah ini tergolong sebuah reformasi besar-besaran untuk saat itu. Anak laki-laki yang menjadi buruh magang harus diberi diberi hari libur. Mereka juga tidak boleh lagi dipukuli.

Dari ratusan anak laki-laki yang tinggal bersamanya dan dia didik untuk memasuki dunia kerja, Pastor Bosco juga mulai mengidentifikasi mereka yang menurutnya layak menjadi imam yang baik. Pastor Bosco mendorong mereka yang layak itu untuk mempertimbangkan panggilan imamat. Jika mereka setuju, Pastor Bosco lalu membantu mempersiapkan mereka dan merancang pembinaan mereka menuju tahbisan imam.

Anak-anak muda yang mendapat pelayanan misioner para Salesian di Sumba.

Kiprah dan sepak terjang Pastor Bosco di Kota Turin dan sekitarnya bukan tanpa kontroversi. Beberapa pastor paroki menuduhnya mencuri anak laki-laki dari paroki mereka. Kepala Polisi Turin menentang katekisasi anak laki-laki di jalanan yang diklaimnya sebagai tindakan subversi politik.

Pada tahun 1859, Pastor Bosco mendirikan sebuah serikat religius yang diberi nama Setikat St. Fransiskus dari Sales. Ada 15 frater dan satu remaja laki-laki ikut bergabung. Mereka adalah anak-anak muda yang tinggal bersama dan dididik oleh Pastor Bosco. Tujuan mereka adalah untuk melaksanakan karya-karya amal, membantu anak laki-laki dalam pembentukan iman dan menghindarikan mereka dari masalah. Serikat religius tersebut masih eksis hingga saat ini dan terus membantu masyarakat, terutama anak-anak di seluruh dunia.

Di tahun-tahun berikutnya, Pastor Bosco memperluas misinya, mula-mula ke Amerika Latin, dan perlahan-lahan ke seluruh dunia. Para pengikutnya – disebut Para Salesian – berkarya di seluruh dunia. Para Salesian juga hadir dan berkarya di Indonesia sejak tahun 1985. Mereka berkarya di Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Surabaya, dan Keuskupan Weetebula.

Pastor Bosco meninggal dunia pada tanggal 31 Januari 1888. Setelah kematiannya, seruan untuk proses kanonisasi muncul dari berbagai pihak. Para Salesian pun segera mempersiapkan proses menuju kekudusan bagi Yohanes Bosco. Paus Pius XI mengenal Pastor Bosco secara pribadi dan setuju, menyatakan Don Bosco sebagai orang yang diberkati di tahun 1929. Santo Yohanes Bosco dikanonisasi pada hari Minggu Paskah, tahun 1934 dan dia diberi gelar “ Bapa dan Guru Kaum Muda.”

Penulis berpose di dekat lukisan Don Bosco di Turin, rumah induk Serikat Salesian dalam sebuah kunjungan tahun 2011. Dokpri.

Pada tahun 2002, Paus Yohanes Paulus II diminta untuk menyatakan St. Yohanes Bosco sebagai Pelindung Para Pesulap Panggung. St. Yohanes Bosco telah memelopori seni yang sekarang disebut “Gospel Magic”, menggunakan sulap dan keterampilan lainnya demi menarik perhatian dan demi melibatkan kaum muda dalam karya-karya pastoral.

Yohanes Bosco adalah Orang Kudus pelindung para buruh magang, profesi editor dan penerbit, anak sekolah, pesulap, dan anak nakal. Peringatan liturginya dirayakan Gereja Katolik di seluruh dunia pada pada tanggal 31 Januari.[]

Pesan Paus Fransiskus ke Presiden Joe Biden: Ayo, pupuk perdamaian dan rekonsiliasi di AS dan dunia

Paus Fransiskus mengirim pesan yang sangat kuat kepada Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Paus Fransiskus mendesak dia untuk menjadi pembawa perdamaian dan rekonsiliasi di Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Kepada Joe Biden, Paus Fransiskus membuka pesannya dengan mengatakan, “Pada kesempatan pelantikan Anda sebagai Presiden keempat puluh enam Amerika Serikat, saya menyampaikan ucapan selamat dan jaminan doa saya, bahwa Tuhan Yang Mahakuasa akan memberi Anda kebijaksanaan dan kekuatan dalam menjalankan jabatan tinggi Anda.”

Pada hari Rabu, menjelang sore hari waktu Timur Amerika Serikat, Presiden dan Wakil Presiden dari Partai Demokrat, Joseph R. Biden dan Kamala Harris, mengucapkan sumpah mereka dan sebagai presiden dan wakil presiden ke-46. Pelantikan Biden terjadi pada saat negeri Paman Sam itu sedang mengalami perpecahan yang intens. Hanya dua minggu lalu, tepatnya pada tanggal 6 Januari 2021, ketika Kongres sedang mengesahkan hasil pemilihan presiden, pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol di Washington DC dan menduduki gedung tersebut selama beberapa jam. Dalam pesan Angelus di hari Minggu, 10 Januari 2021, Paus Fransiskus mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan para pendukung Trump tersebut.

Setelah serangan di Capitol, yang menyebabkan lima orang meninggal dunia, Dewan Perwakilan Rakyat memakzulkan Donald Trump atas tuduhan “penghasutan pemberontakan.” Meskipun Donald Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden, kemungkinan persidangan Senat atas tuduhan tersebut masih akan dilaksanakan.

Serangan pendukung Donald Trump ke Capitol Hall, 6 Januari 2021.

Dalam pesannya kepada Presiden Biden pada hari Rabu, 20 Januari 2021, Paus Fransiskus mengungkapkan harapannya kepada Biden, bahwa “di bawah kepemimpinan Anda, semoga rakyat Amerika terus mendapatkan kekuatan dari nilai-nilai politik, etika dan agama yang luhur yang telah menginspirasi bangsa ini sejak didirikan.” Amerika Serikat merayakan 244 tahun demokrasi mereka sejak didirikan pada 1776.

Joe Biden menduduki kursi jabatan sebagai Presiden AS di tengah situasi negara yang terus berjuang memerangi krisis pandemi terbesar di dunia. Mendorong orang Amerika untuk mengikuti upacara pelantikan secara online, acara pelantikan presiden itu juga menjadi momen untuk memeringati mereka yang telah meninggal selama pandemi. Selain itu, dalam acara pelantikan itu juga ada pengakuan dan penghargaan kepada mereka, yakni para pihak di AS, yang telah menunjukkan cinta dan kesabaran yang luar biasa kepada sesamanya yang membutuhkan, terutama selama masa pandemi.

Sejauh ini, di seluruh AS, dari 24 juta kasus terkonfirmasi menderita pandemi, ada 402 ribu orang meninggal dunia dan yang menjadi korban.

Tulis Paus Fransiskus dalam pesannya itu, “Pada saat krisis besar yang dihadapi keluarga manusia, kita membutuhkan berpandangan jauh ke depan dan tanggapan yang padu, bukan perpecahan.” Lanjut Paus Fransiskus, “Saya berdoa agar keputusan Anda akan dilandasi dan dipandu oleh kepedulian untuk membangun masyarakat yang ditandai dengan keadilan dan kebebasan otentik, penghormatan yang tiada henti terhadap hak dan martabat setiap orang, terutama mereka yang miskin, yang rentan, dan mereka yang tidak memiliki suara.”

Mengakhiri pesannya, Paus Fransiskus menulis, “Saya juga meminta kepada Tuhan, sumber dari semua kebijaksanaan dan kebenaran, agar membimbing segala upaya Anda dalam mengusahakan pemahaman, rekonsiliasi dan perdamaian di Amerika Serikat dan di antara negara-negara di dunia demi memajukan kebaikan bersama. Dengan perasaan ini, dalam sukacita yang besar, saya memohonkan berkat melimpah kepada Tuhan bagi Anda, keluarga Anda, dan seluruh rakyat Amerika yang saya kasihi.”