Saatnya Bersorak-Sorai

Saatnya bersorak dan bergembira, yang dinantisegera akan tiba.

Hari Minggu Adven ketiga disebut hari Minggu Gaudete. Meskipun Natal belum tiba, gereja mengajak kita untuk bergembira. Kedengarannya kontradiktif, tetapi sebenarnya tidak. Pertama, jika laku tobat dan kembali ke jalan yang benar sebagaimana diserukan Santo Yohanes Pembaptis telah kita lakukan, kita sesungguhnya harus bergembira. Alasannya, Mesias yang kita nantikan itu segera tiba. Ibarat menunggu seorang tamu spesial – dan kita sudah tahu bahwa tamu itu akan segera tiba – semangat dan antusiasme kita mendati tak-terkatakan. Kita bergembira dan kegembiraan kita meluap-luap meskipun tamu itu belum tiba. Lebih dari sekadar sebuah ekspektasi kosong, penantian kita adalah sebuah harapan yang wujudnya mulai menampakkan diri.

Kedua, kita punya alasan untuk bergembira karena “Allah telah menyingkirkan hukuman yang dijatuhkan atas kita; Ia telah rela menyingkirkan hukuman yang dijatuhkan ke atas kita” (bdk Zef 3:15). Kedatangan Yesus adalah sebuah berita gembira. Itulah hari pembebasan Tuhan. Dan sebagaimana ditekankan dalam bacaan-bacaan yang kita renungkan hari ini, sudah seharusnya berita gembira itu disambut meriah dan dieskpresikan, tidak hanya oleh kita sendiri atau terbatas pada keluarga kita, tetapi juga kepada bangsa-bangsa. Itu juga yang dimaklumkan Pemazmur, “… baiklah hal ini diketahui di seluruh bumi! Berseruhlah dan bersorak-sorailah…” (bdk Mz 12:4). Kegembiraan ini, demikian Santo Paulus dalam Bacaan Kedua, harus diketahui semua orang.

Ketiga, kegembiraan hanya pantas dialami dan dirayakan oleh mereka yang taat menanti dan tekun memperbaiki diri. Itulah sebabnya mengapa Santo Lukas dalam Bacaan Injil hari ini tetap menekankan pentingnya pertobatan dan upaya memperbaiki diri. Kita dituntut untuk berbagi makanan dan pakaian dengan orang miskin, tidak mengambil apa yang bukan menjadi hak kita, tidak merampas dan tidak memeras orang lain.

Jika demikian, ajakan gereja untuk bersuka cita di hari Minggu Adven ketiga ini mengandung makna mendasar. Pertama-tama, sukacita harus berasal dari pengalaman pertobatan dan perjumpaan dengan Allah sendiri yang datang membebaskan. Sukacita adalah kegembiraan batin karena pengalaman (akan) dibebaskan dan kesempatan untuk kembali merajut hidup dalam relasi intim-hangat dengan Allah.

Berbeda dari kegembiraan duniawi yang hampa nilai, kegembiraan Kristiani adalah buah dari ketekunan dan keuletan memperbaiki diri, kesetiaan dan kerendahan hati meluruskan jalan-jalan berliku di dalam hati. Dan ini langsung mengeksklusikan kegembiraan palsu ketika kita hanya mau memeriahkan pesta Natal tanpa laku tobat dan perbaikan diri.

Maka ketika kita semua diajak untuk membagi pengalaman sukacita itu kepada dunia, yang kita bagikan adalah – dalam pemahaman Santo Paulus – kebaikan hati, hati yang tidak kuatir akan suatu apapun, hati yang penuh syukur serta hati dan pikiran yang terus dipelihara dalam Kristus.

Dalam arti itu, ajakan untuk bersukacita sebenarnya mengandung tuntutan yang tidak bisa ditolak. Sukacita sejati tidak layak dirayakan oleh mereka yang menolak ajakan Yohanes Pembaptis untuk bertobat dan memperbaiki diri. Itulah inti tuntutan Injili yang kita renungkan hari ini: Jika engkau ingin merayakan sukacita sejati karena kedatangan Tuhan, engkau harus tetap memelihara hidupmu dalam semangat “meluruskan jalan yang berliku” dan hati yang sukanya menduakan Allah.

Apakah kita termasuk dalam kelompok mereka yang bersukacita menyambutkedatangan Tuhan karena senantiasa memperbaiki diri dan berada di jalanpertobatan terus-menerus? Atau, kita termasuk kelompok orang yang maunyabersukacita dengan menghindari jalan pertobatan? Setiap kita menyimpan jawabnyasendiri (telah terbit Kolom Renungan Warta Minggu, 16/12/2018).

Versi cetak di Kolom Renungan Warta Minggu, 16/12/2018.

Masa Adven dan Persiapan Kita

Advent-1
Salah satu kegiatan Adven diisi dengan aktivitas pendalaman iman. Dokpri.

Selama empat minggu sejak hari Minggu Kristus Raja, umat Katolik dan seluruh umat Kristen sedunia yang mengikuti Kalender Liturgi yang sama, menantikan kedatangan Messias. Lagu “Datanglah, O Imanuel dilantunkan di mana-mana, terutama di komunitas-komunitas Katolik. Umatpun mengisi keempat minggu itu dengan doa dan pendalaman iman. Puasa, pantang dan praktik hidup kasih juga menjadi bagian integral dari masa ini. Itulah masa adven, masa di mana “Setiap lembah harus ditimbuni, setiap gunung dan bukit diratakan” karena kemuliaan Tuhan akan dinyatakan. Selama masa ini kita diberi kesempatan mempersiapkan jalan bagi Tuhan.

Katekismus Gereja Katolik menegaskan, “Dalam perayaan liturgi Adven, Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias; dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan yang lama menjelang kedatangan pertama Penebus dan membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan-Nya yang kedua. Dengan merayakan kelahiran dan mati syahid sang perintis, Gereja menyatukan diri dengan kerinduannya: “Ia harus makin besar dan aku harus makin kecil” (Art. 524).

Makna Adven

“Adven” berasal dari kata Bahasa Latin Adventus, yang artinya “yang sedang datang”. Dalam penanggalan liturgi, Adven menandai tahun baru liturgi (Gereja Barat), dan itu terentang selama empat minggu sebelum Natal sampai perayaan kelahiran Tuhan Yesus. Hari Minggu Pertama masa Adven adalah hari minggu yang paling dekat ke pesta Santo Andreas Rasul (jatuh pada tanggal 30 November). Dengan begitu, hari Minggu pertama Adven umumnya jatuh di sekitar tanggal 27 November–3 Desember. Warna liturgi selama masa Adven adalah warna ungu.

Selama masa Adven umat Katolik diminta untuk (1) mempersiapkan diri secara baik supaya dapat menyambut dan merayakan kedatangan Tuhan, Sang Sabda yang menjadi Daging dan yang tinggal di antara kita; (2) mengosongkan dan merendahkan diri, menghidupi spiritualitas kesederhanaan supaya dalam keterbatasan dan sikap lepas bebas kita layak menyambut Tuhan yang lahir di kandang hewan; serta (3) menyatakan tobat dan penyesalan dengan mengakukan dosa dan mohon ampun kepada Allah, menjalin kembali relasi yang terputus dengan sesama, dan memulai lagi hidup yang baru.

Tidak dapat dipastikan kapan masa Adven pertama kali dirayakan dalam Gereja Katolik. Menurut tradisi, Adven telah dirayakan dalam Gereja di sekitar akhir abad ke-4 masehi. Memang ada cukup banyak homili dari abad ke-5 masehi yang mulai mendiskusikan pentingnya persiapan untuk menyambut kedatangan Tuhan Yesus, tetapi tetap belum bisa dipastikan apakah itu merujuk kepada masa liturgi tertentu. Sebuah Sinode para Uskup diselenggarakan pada tahun 590, di mana diputuskan bahwa hari-hari Senin, Rabu, dan Jumat selama tanggal 11 November sampai hari kelahiran Tuhan Yesus harus diperlakukan sebagai masa persiapan. Di hari-hati itu umat wajib berpuasa, dan itu mirip dengan masa Prapaskah.

Di antara kumpulan kotbah St. Gregorius Agung –juga merupakan Paus selama tahun 590–604 – dapat ditemukan sebuah kotbah yang ditulisnya untuk hari Minggu Kedua Adven. Di tahun 650, gereja-gereja di Spanyol mulai merayakan masa Adven (selama lima minggu). Dengan begitu, tampaknya masa Adven mulai dikenal dan dirayakan di akhir abad ke-6 masehi dan di awal abad ke-7 masehi. Sejak saat ini masa Adven meliputi lima minggu sampai Paus Gregorius VII (menjadi Paus selama tahun 1073–1085) menguranginya menjadi hanya empat minggu, dan itu dipertahankan sampai sekarang.

Belajar dari Warna Liturgi

Layaknya persiapan, masa Adven sebaiknya diisi dengan berpuasa dan berpantang. Praktik hidup rohani ini diarahkan kepada upaya mempersiapkan “jalan” bagi Tuhan. Hidup spiritual seharusnya dibarui dalam semangat penantian ini.

Tradisi Adven sungguh sangat kaya. Salah satunya adalah karangan bunga yang dihiasi lilin-lilin berwarna-warni. Konon karangan bunga dan lilin Adven ini telah dipraktikkan dalam ritual orang kafir dan dihubungkan dengan titik balik matahari musim dingin. Kalaupun tradisi ini benar, maknanya sekarang berubah, terutama ketika setiap lilin dinyalakan berdasarkan berapa minggu lagi menuju ke Perayaan Natal. Lilin yang sedang bernyala menyimbolkan kerinduan yang mendalam akan kedatangan Tuhan.

Biasanya di atas karangan bungan Adven diletakkan 3 lilin berwarna ungu dan satu lilin merah muda (berwarna mawar). Di tengah-tengah karangan bunga terdapat lilin putih. Secara keseluruhan, lilin-lilin ini mewakili kedatangan cahaya Kristus ke dalam dunia. Satu lilin menyala setiap hari Minggu selama Adven, tapi pada hari Minggu ketiga lilin itu berwarna merah muda (warna mawar) untuk mengingatkan orang supaya bersukacita dalam Tuhan.

4431511119_e94f574cb9_o
Warna liturgi yang khas pada hari minggu ketiga Adven, lazim disebut Hari Minggu Gaudete. Karena kedatangan Kristus semakin dekat, umat Katolik pantas bersukaria.

Minggu ketiga Adven disebut Hari Gaudete. Kata “gaudete” sendiri berasal dari kata Bahasa Latin yang artinya “bersukacita”. Perhatikan perubahan warna lilin pada karangan bunga Adven dan perubahan warna liturgi, yakni dari warna ungu menjadi warna merah muda (mawar). Ini menandakan perubahan dari periode tobat ke momen sukacita dan perayaan. Momen sukacita di Hari Minggu Gaudete ini terekspresikan dalam syair: Rejoice, rejoice!/Christ has born/(Out) Of the Virgin Mary –/Rejoice!/ The time of grace has come—/what we have wished for,/songs of joy/Let us give back faithfully./ God has become man,/(With) nature marvelling,/The world has been renewed/By Christ (who is) reigning./ The closed gate of Ezekiel/Is passed through,/Whence the light is raised,/Salvation is found./ Therefore, let our preaching/Now sing in brightness/Let it give praise to the Lord:/Greeting to our King.

Yesus datang ke dunia dalam kemiskinan sebuah kandang, dalam keluarga yang tidak kaya, dan disaksikan para gembala sederhana. Kemuliaan surga bersinar dan bertahta dari balik kesederhanaan itu (KGK, Art. 525). Untuk menyambut dan merayakan kemuliaan ini, kita mempersiapkan diri dalam puasa dan pantang, dalam pertobatan dan pembaruan diri selama masa Adven. Semoga dengan begitu, kita pantas menyambut kelahiran Sang Penebus.