Keutamaan Kristiani (9): Dosa Melawan Keberanian

TF_Blog_Courage_3May2017

Keutamaan keberanian telah diuraikan secara singkat dalam kolom Pojok Katekese di Warta Minggu edisi 16 September 2018. Di situ ditegaskan bahwa keutamaan keberanian tidak pertama-tama dimaksudkan sebagai keberanian fisik, misalnya sikap gagah berani berduel dan memenangkan konflik fisik dengan penjahat, sikap pantang menyerah seorang tantara di medan tempur, sikap heroik seorang pemadam kebakaran yang menyelamatkan seorang anak dari dalam kobaran api, dan semacamnya.

Menurut Santo Agustinus keberanian bukanlah keutamaan yang khas Katolik. Ini dapat dimengerti jika keberanian hanya direduksikan semata-mata sebagai kemampuan fisik dalam menahan rasa sakit, menghadapi bahaya, melawan ancaman, dan semacamnya. Santo Thomas Aquinas memosisikan keutamaan keberanian sebagai keutamaan moral nomor urut tiga setelah kebijaksanaan dan keadilan. Bagi Aquinas, keutamaan keberanianlah yang memampukan seseorang melawan halangan atau rintangan yang berusaha menjauhkan dirinya dari hidup menurut bimbingan akal budinya. Keutamaan keberanianlah yang mendorong orang Katolik melawan kelemahan kehendak (weakness of will) dalam melakukan hal yang baik sesuai ajaran Kristiani.

Kondisi Yang Diandaikan

Secara hierarki, keutamaan keberanian diposisikan di nomor urut ketiga karena alasan fundamental berikut. Pertama, keberanian harus dipraktikkan secara bijaksana, pertama-tama bukan demi aksi heroisme atau demi kemuliaan diri, tetapi demi mempertahankan atau merealisasikan suatu kebenaran fundamental. Dalam konteks inilah tindakan kemartiran dapat kita pahami.

          Kedua, keutamaan keberanian hanya bisa dipraktikkan ketika telah tercipta keadaan yang adil. Misalnya, tindakan seorang pemadam kebakaran yang menyelamatkan seorang bayi dari dalam kobaran api yang mengakibatkan dirinya menjadi cacad hanya akan mempersulit keluarganya (istri dan anak-anaknya) jika negara tidak melindungi dan menjamin aksi “pengorbanan diri” seperti itu. Dalam arti itu, keadaan yang adil mejadi kondisi penting yang harus diperhatikan.

Ketiga, keutamaan keberanian, menurut Santo Thomas Aquinas, harus dipraktikkan dalam kerangka iman, pengharapan dan kasih. Demikianlah, seorang pemadam kebakaran dapat saja mengorbankan dirinya demi keselamatan orang lain karena keyakinannya (iman) akan penyertaan Allah, tetapi juga pengharapannya akan belas kasih Allah pada hidupnya, hidup orang-orang yang dia tolong, bahkan hidup keluarganya – jika dia mengorbankan nyawanya sendiri. Tindakan yang berani juga didorong oleh cinta kasihnya yang tulus kepada sesama, bahwa tindakannya yang berani itu menjadikan Allah sungguh-sungguh hadir.

Ketidakberanian Sebagai Dosa

Pertanyaannya, sikap tidak berani apakah dapat langsung dikategorikan sebagai dosa? Seperti apakah dosa melawan keutamaan keberanian?

Perhatikan bahwa keberanian hanya menjadi keutamaan moral Kristiani jika dipraktikkan dalam konteks iman, pengharapan, dan kasih. Itu artinya, ketidakberanian kita – terutama dalam melawan kehendak untuk berbuat dosa – adalah perilaku berdosa melawan keutamaan iman, pengharapan dan kasih itu sendiri.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 2088-2089 menjelaskan bahwa termasuk ke dalam dosa melawan iman adalah sikap ragu-ragu atau ketakutan bersikap sesuai ajaran gereja Katolik, termasuk juga sikap takut melawan penghinaan terhadap iman Katolik. Sementara itu, sikap putus asa menghadapi tekanan dan kehilangan harapan akan ditegakkannya keadilan Tuhan adalah contoh dari dosa melawan pengharapan (KGK, 2091-2092). Sikap semacam ini berpotensi menyebabkan orang Katolik menjadi penakut berperilaku berani. Termasuk di dalamnya adalah sikap dan tindakan yang mengandalkan diri dan kekuatannya sendiri. Demikianlah, bersikap berani hanya demi keluhuran nama sebenarnya adalah dosa melawan keutamaan keberanian sekaligus dosa melawan keutamaan pengharapan.

Bagaimana dengan keutamaan keberanian dan cinta kasih? KGK artikel 2093-2094 menegaskan antara lain, bahwa sifat acuh tak acuh itu bertentangan dengan keutamaan kasih. Dalam arti itu, seorang Katolik yang mengetahui suatu keadaan yang tidak adil atau yang bertentangan dengan imannya tetapi bersikap masa bodoh, tidak peduli dan mendiamkan hal itu terjadi, dia berdosa melawan keutamaan cinta kasih sekaligus keutamaan keberanian.

Menyadari bahwa keutamaan keberanian adalah salah satu hadiah atau anugerah Roh Kudus, mari kita tak henti-hentinya memohon kepada Allah Roh Kudus agar dianugerahi keutamaan ini.

Kita bisa berdoa demikian: Ya Allah, anugerahi aku keberanian jika Engkau tahu aku paling membutuhkannya. Hambamu butuh keberanian menghadapi orang-orang yang mengancam dan melawanku. Aku butuh keberanian untuk melawan sikap-sikap yang tidak bersahabat, penghinaan, dan perlawanan terhadap-Mu. Ya Allah, hambamu butuh keberanian supaya bisa melawan dosa, melawan terror dan rintangan, melawan godaan, ketertarikan yang tidak benar, kegelapan, dan cahaya-cahaya palsu, melawan rasa putus asa, dan terutama rasa takut. Aku butuh bantuan-Mu, ya Allah. Kuatkanlah aku dengan daya Cinta dan Rahmat-Mu. Hiburlah aku dengan kehadiran Ilahi-Mu dan lengkapilah aku dengan keberanian untuk setia sampai saat ketika aku harus kembali bersama-Mu di Surga. Amin.

Keutamaan Kristiani (8): Keutamaan Keberanian

Gambar terkait
Lukisan Mikhael Agung, Malaikat yang gagah berani mengalahkan iblis. Sumber: http://amoamao.net/website/?p=29121

Kami sudah membahas berturut-turut dua keutamaan moral atau keutamaan manusiawi, yakni kebijaksanaan dan keadilan. Keberanian (fortitude) adalah keutamaan moral ketiga yang akan dibahas dalam kolom Pojok Katekese kali ini.

Soal keutamaan keberanian, Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 1808 menegaskan bahwa sebagai keutamaan moral, keberanian adalah watak yang membuat kita tabah dalam menghadapi kesulitan. Selain itu, keutamaan ini juga memampukan kita untuk tekun dalam mengejar yang baik. Keutamaan keberanian menguatkan kita supaya bisa melawan godaan dan mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan moral. Keutamaan keberanian juga memampukan kita mengalahkan ketakutan, bahkan ketakutan akan kematian, dan dalam menghadapi penganiayaan. Keutamaan ini bahkan membuat orang rela mengurbankan kehidupannya sendiri demi suatu hal yang benar.

Tidak Asal Berani

Apakah seorang polisi yang dengan gagah berani menyelamatkan masyarakat yang terjebak dalam sebuah gedung karena ada ancaman bom dari reroris dapat dikategorikan sebagai tindakan berkeutamaan? Apakah seorang hakim yang dengan teguh menolak sogok dari pihak yang berperkara, meskipun dia tahu tidak ada orang lain yang akan mengetahui kecurangan itu?

Keutamaan keberanian berperan dalam memoderatkan rasa takut berlebihan di satu pihak dan sifat keberanian berlebihan di lain pihak berdasarkan alasan yang benar. Itu artinya, ketika menghadapi situasi yang menuntut keberanian sikap, ketakutan tetap ada dalam diri setiap orang. Keutamaan keberanianlah yang berperan dalam mengatasi rasa takut itu supaya bisa mengambil tindakan yang dibutukan. Tentu dengan alasan yang benar.

Apa yang dimaksud dengan alasan yang benar? Katakan saja, hakim A menolak sogokan seorang pengacara demi membebaskan kliennya. Ketika menghadapi kejadian ini, dapat dipastikan bahwa ada godaan dalam diri hakim A untuk menerima sogokan tersebut, apalagi jika tidak ada orang lain yang mengetahuinya selain dia dan pengacara. Juga ketika dia sadar, bahwa praktik jual beli perkara sudah menjadi hal yang lumrah di pengadilan. Jika kemudian hakim A menolak sogokan itu, tindakan itu hanya bisa disebut sebagai wujud dari keutamaan keberanian jika itu dilakukan demi suatu kebaikan luhur yang lebih besar, misalnya demi mewujudkan pemerintahan yang bersih, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama, atau bahkan demi mewujudkan integritas dirinya sendiri.

Ini juga terjadi dalam kasus ekstrem, misalnya, seorang polisi yang berusaha menyelamatkan nyawa masyarakat yang terjebak dalam sebuah gedung karena ancaman bom dari para teroris. Polisi menghadapi situasi menakutkan karena dia berada dalam kemungkinan kematian dirinya. Tetapi polisi tersebut berani melakukan tindakan penyelamatan itu, pertama-tama bukan karena suatu motif heroisme dalam dirinya, misalnya agar menjadi terkenal atau supaya bisa dipromosikan, tetapi karena dorongan dari dalam dirinya untuk mewujudkan suatu kebaikan yang lebih besar. Itulah kebaikan orang-orang yang terancam nyawanya, bahkan kebaikan masyarakat yang lebih luas.

Demikianlah, motif utama tindakan berkeutamaan keberanian adalah upaya mengejar dan merealisasikan yang baik. Dalam mewujudkan yang baik itu, berbagai halangan dan tantangan pasti muncul, bahkan yang mengancam keselamatan hidup kita sendiri. Dalam situasi demikianlah orang yang berwatak berani dapat mengatasi rasa takutnya, termasuk juga godaan untuk menghindar dari tindakan berbuat baik.

Keberanian Melawan Dosa

Katekismus Gereja Katolik juga menegaskan bahwa umat Katolik membutuhkan keberanian dalam kehidupan moral. Kehidupan moral di sini dimaksud sebagai kehidupan sehari-hari yang kita jalani dalam ketegangan antara usaha menjadi orang yang baik dan tidak berdosa di satu pihak dan godaan untuk melawan ajaran Kristiani di lain pihak.

Setiap kali mendaraskan doa Bapa Kami, kita dengan lantang menyerukan, “…dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat.” Godaan dan cobaan tidak cukup kita atasi dengan ratusan bahkan ribuan kali mendaraskan doa ini. Kita butuh keberanian dari dalam diri untuk “melawan” godaan yang menghampiri kita. Itulah watak keberanian. Sekali lagi, motivasinya bukan demi kemegahan dan kesombongan diri, bahwa kita sudah berhasil mengatasi godaan. Ini kita lakukan semata-mata karena mau mewujudkan kebaikan tertinggi dalam diri kita. Secara teologis, kebaikan itulah kehidupan yang layak di hadapan Tuhan sendiri.

Sebagai sebuah keutamaan, mari kita ingat selalu, bahwa kita perlu latihan dan pembiasaan terus-menerus supaya bisa memiliki keutamaan yang satu ini. Dalam tradisi keutamaan moral, latihan itu tidak sekadar usaha untuk menghindari sifat terlalu penakut atau terlalu berani. Gereja Katolik menyempurnakan ajaran moral klasik ini dengan intensi yang benar, yakni upaya mewujudkan suatu kebaikan yang lebih besar, entah kebaikan hidup bersama maupun kebaikan diri individual sebagaimana disinggung di atas.

Demikianlah, setiap tindakan yang didasarkan pada keutamaan keberanian akan berangkat dari alasan yang luhur, yakni demi merealisasikan suatu kebaikan yang lebih tinggi dan luhur, demi merealisasikan suatu kebenaran, bahkan pada tingkat martir, demi merealisasikan iman akan Kristus sendiri sebagaimana yang kita simak dari kisah-kisah kemartiran dalam Gereja Katolik.