Surat Gembala Tahun Berhikmat 2019 “Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”

(Disampaikan sebagai pengganti khotbah, pada Perayaan Ekaristi Hari Raya Penampakan Tuhan,  Sabtu/Minggu, 5/6 Januari 2019)

Mgr. I. Suharyo, Uskup Agung Jakarta.

Para Ibu/Bapak, Suster/Bruder/Frater Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih.

1. Menjelang akhir masa Natal dan pada awal Tahun Baru 2019, saya masih ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Natal 2018 dan Selamat Tahun Baru 2019. Semoga kelahiran Yesus “Sang Himat Allah Bagi Kita” menjadi sumber inspirasi dan memberikan daya bagi kita, keluarga dan komunitas kita untuk terus bertumbuh dalam kasih dan kesucian, dalam hikmat dan kebijaksanaan. Pada Hari Raya Penampakan Tuhan ini, sesuai dengan gerak Keuskupan Agung Jakarta, kita memasuki Tahun Berhikmat dengan semboyan “Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”.

2. Kisah mengenai orang majus dari Timur yang dibacakan pada hari ini berakhir dengan kata-kata kaya makna, “… mereka pun pulang ke negerinya lewat jalan lain”. Menurut kisah, mereka pulang lewat jalan lain untuk menghindari Herodes. Tetapi secara simbolis, kata-kata itu dapat diartikan secara lain : siapa pun yang benar-benar mengalami penampakan Tuhan, artinya “berjumpa” dengan Tuhan, dia tidak akan lagi hanya menapaki jalan hidup yang sama. Pengalaman perjumpaan dengan Tuhan selalu membaharui dan mengubah, serta menjadikan kita pribadi-pribadi yang terus bertumbuh dalam kasih dan kesucian, dalam hikmat dan kebijaksanaan.

3. Sementara itu pengalaman penampakan atau perjumpaan dengan Tuhan ditawarkan kepada siapa saja tanpa kecuali. Yang membedakan adalah keterbukaan orang untuk menanggapi kesempatan itu. Tidak sedikit orang yang hanya merasa “terkejut” (Mat 2:3), seperti halnya Herodes dan seluruh Yerusalem. Mereka berhenti dan tidak mencari. Sementara itu ketiga orang majus itu sampai pada “sukacita” (Mat 2:10), karena mereka tidak membiarkan pencarian mereka berhenti atau dihentikan oleh siapapun. Marilah kita syukuri saat Tuhan menampakkan Diri dalam pelbagai peristiwa dan pengalaman hidup kita. Kita juga mohon agar kepada kita dianugerahkan ketajaman mata hati untuk menemukan sapaan Tuhan dalam setiap peristiwa dan pengalaman yang melintas dalam hidup kita.

4. Agar kita mampu menemukan sapaan Tuhan dalam setiap peristiwa dan pengalaman hidup,  mau tidak mau kita harus memberi perhatian kepada setiap peristiwa dan pengalaman yang jumlahnya tidak terbilang. Dari sekian banyak peristiwa dan pengalaman itu, saya ingin mengajak Anda sekalian untuk merenungkan kedua hal ini:

4.1. Sekitar dua bulan yang lalu, pada halaman pertama salah satu harian nasional, terpampang judul besar Kesadaran Moral Dirusak. Dalam ulasan itu disampaikan data sekian banyak tindakan tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap sekian banyak pejabat yang melakukan korupsi. Padahal tanggung jawab utama mereka adalah memastikan terwujudnya kesejahteraan warga masyarakat yang ada di wilayah pelayanan mereka. Pejabatpejabat dan para pelaku korupsi itu pastilah tidak menjalankan amanah sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Mereka bukan pribadi-pribadi yang berhikmat dan bijaksana yang dapat diharapkan mampu menjadikan bangsa semakin bermartabat. Dikatakan bahwa yang paling parah dirusak oleh tindakan koruptif seperti itu adalah kesadaran moral. Ketika pemimpin berperilaku secara moral bermasalah, masyarakat dapat kehilangan orientasi nilai, tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah.  Kalau demikian kejahatan dapat dianggap sebagai hal yang rutin dan sehari-hari. Akibatnya mutu keadaban publik luntur atau bahkan rusak. Kita bertanya, pesan apa yang mau disampaikan Tuhan kepada kita lewat peristiwa-peristiwa seperti itu? Salah satu jawaban yang pasti adalah bahwa kita dipanggil untuk menjadi pribadi-pribadi yang semakin berhikmat-bijaksana, dalam segala kekayaan maknanya. 

4.2. Sementara itu bulan yang lalu beredar berita dan gambar seekor ikan paus terdampar di salah satu pulau di bagian timur Indonesia dalam kondisi membusuk. Yang mengenaskan adalah hampir enam kilogram sampah plastik ditemukan di dalam perut ikan paus tersebut. Sampah plastik saat ini sudah menjadi masalah global yang perlu kita sikapi dengan sungguh-sungguh. Sampah plastik yang sudah mengurai menjadi butiran-butiran kecil, makin mencemari alam kita. Menurut penelitian, butiran-butiran plastik yang sangat kecil sudah ditemukan dalam tubuh manusia. Butiran-butiran itu masuk melalui air minum, makanan laut dan garam yang kita makan. Kita prihatin karena negara kita menjadi penyumbang sampah plastik kedua di dunia, dengan jumlah 64 juta ton setiap tahun, 3,2 juta ton di antaranya masuk ke laut. Kita bertanya, pesan apa yang mau disampaikan Tuhan kepada kita lewat data seperti ini? Salah satu jawaban yang pasti adalah bahwa kita dipanggil untuk menjadi pribadi-pribadi yang semakin berhikmat-bijaksana, juga dalam segala kekayaan maknanya.

5. Di tengah-tengah kenyataan seperti itu, kita diingatkan akan panggilan dasar kita sebagai murid-murid Kristus. Panggilan kita sebagai murid-murid Kristus ditegaskan dengan sangat bagus dalam ajaran resmi Gereja:

5.1. “…. Bagi semua jelaslah bahwa semua orang kristiani, bagaimana pun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan kasih. Dengan kesucian itu, juga dalam masyarakat di dunia ini, cara hidup menjadi lebih manusiawi …” (Lumen Gentium  40). Sebelumnya, dalam dokumen yang sama dikatakan, “… Semua orang beriman, dalam keadaan dan status mana pun juga, dipanggil oleh Tuhan untuk menuju kesucian yang sempurna seperti Bapa sendiri sempurna, masing-masing melalui jalannya sendiri” (Lumen Gentium 11).

5.2. Dalam Anjuran Apostolik Gaudete et Exultate, Paus Fransiskus memberikan penjelasan yang amat sederhana mengenai panggilan kepada kesucian ini : ”Kita bertumbuh dalam kesucian yang merupakan panggilan kita semua, melalui hal-hal kecil sehari-hari. Berikut contohnya : seorang Ibu pergi berbelanja, dan dia berjumpa dengan seorang tetangga, mulai berbicara, dan mulailah gosip. Namun dia berkata dalam hatinya ‘Tidak, saya tidak akan berbicara jelak mengenai orang lain’. Ini adalah satu langkah maju dalam kesucian. Selanjutnya di rumah, salah satu anaknya ingin berbicara dengan dia mengenai harapan dan mimpi-mimpinya. Meskipun ia lelah, ia duduk dan mendengarkan dengan sabar, penuh perhatian dan kasih. Ini adalah pengorbanan lain yang mendatangkan kesucian. Berikutnya ia merasa cemas, tetapi ketika itu ia ingat akan kasih Bunda Maria, mengambil rosario dan berdoa dengan penuh iman. Satu jalan lain lagi menuju kesucian.

Berikutnya lagi, ia pergi ke jalan, berjumpa dengan seorang miskin dan berhenti untuk menyapa orang miskin itu. Satu langkah maju lagi dalam kesucian” (No. 16).

6. Paus Fransiskus memberikan contoh yang amat konkret dan sehari-hari untuk menanggapi panggilan Tuhan agar kita menjadi semakin sempurna dalam kesucian. Kita diajak untuk sungguh menyadari panggilan kita untuk bertumbuh dalam kasih dan kesucian serta menemukan jalannya dalam setiap pilihan dan keputusan yang kita ambil. Bukan memilih sekedar yang mudah dan menyenangkan, melainkan yang baik dan benar. Kita semua diajak – dalam konteks yang berbeda-beda – untuk menjawab pertanyaan ini : Apa yang harus kita lakukan, supaya kita menjadi semakin bertumbuh dalam kasih dan kesucian, dalam hikmat dan kebijaksanaan, sehingga hidup masyarakat kita menjadi semakin manusiawi? Jawabannya bisa bermacam-macam dan sangat konkret, misalnya dalam tata layanan paroki kita pastikan semangat taat asas; atau dalam rangka merawat lingkungan hidup kita pastikan keberlanjutan gerakan pantang plastik dan styrofoam.

7. Akhirnya, semoga segala niat dan usaha kita untuk bertumbuh dalam kasih dan kesucian, dalam hikmat dan kebijaksanaan, menjadikan hidup kita, keluarga dan komunitas kita seberkas sinar yang menampakkan kemuliaan Tuhan dan ikut mengangkat martabat bangsa kita. Terima kasih untuk berbagai keterlibatan para Ibu/Bapak, Suster/Bruder/Frater, kaum muda dan anak-anak sekalian dalam perutusan Keuskupan Agung Jakarta. Semoga segala pengorbanan dalam keterlibatan itu menjadi sumber kegembiraan kita karena boleh terlibat dalam karya kasih Tuhan. Selamat memasuki Tahun Berhikmat, “Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”. Berkat Tuhan untuk Anda sekalian, keluarga dan komunitas Anda. Salam Kebangsaan.

Surat Gembala Prapaskah 2018 “Kita Bhinneka, Kita Indonesia”

(Disampaikan sebagai pengganti khotbah, pada Perayaan Ekaristi Sabtu/Minggu, 10/11 Februari 2018)

medium.jpg

Para Ibu dan Bapak,

Suster, Bruder, Frater,

Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus

1. Bersama dengan seluruh Gereja, pada hari Rabu 14 Februari 2018 yang akan datang, kita akan memasuki masa Prapaskah. Kita semua tahu bahwa Prapaskah adalah masa penuh rahmat, masa dan kesempatan bagi kita untuk lebih membuka hati kepada Tuhan yang selalu menyertai, membimbing serta menguatkan kita. Sebagai wujud keterbukaan hati kita kepada Tuhan, dalam masa ini kita diajak untuk semakin peduli kepada sesama, khususnya yang menderita, seperti selalu dicontohkan oleh Yesus. Membuka hati menjadi amat penting dalam hidup kita sehingga kita dapat semakin memahami sapaan-Nya dalam peristiwa dan pengalaman yang melintas dalam hidup kita. Sikap peduli pun menjadi semakin penting agar iman kita tidak mati. Itulah sebenarnya makna pertobatan kita.

2. Pada tahun ini kita memasuki masa Prapaskah ketika kita menjalani Tahun Persatuan dengan semboyan “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia”. Saya ingin menggarisbawahi gagasan pokok Surat Gembala menyambut Tahun Persatuan yang sudah saya sampaikan pada tanggal 6/7 Januari 2018 yang lalu. Kita ingin memaknai pengalaman hidup kita, khususnya dalam konteks kesatuan dan kebhinekaan bangsa kita, sebagai karya Allah. Kita bersyukur karena Tuhan menyapa kita juga melalui pengalaman keragaman berbangsa. Keragaman itu tercermin antara lain dalam angka-angka ini: Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa dan 546 bahasa. Kendati begitu beragam, kita adalah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai rumah kita bersama. Kesatuan dan sekaligus keragaman ini kita syukuri antara lain dalam Doa Prefasi Tanah Air: “Berkat jasa begitu banyak tokoh pahlawan, Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa, … kami bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, … dan atas Pancasila dasar kemerdekaan kami”. Sebagai bangsa yang beragam kita mempunyai cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan negara yang berketuhanan, adil dan beradab, bersatu, berhikmat dan bijaksana serta damai dan sejahtera.

3. Di lain pihak, kita tidak bisa menutup mata terhadap peristiwa-peristiwa yang menjauhkan kita dari cita-cita sebagai bangsa. Secara khusus berkaitan dengan cita-cita Persatuan Indonesia, kita menyaksikan perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat, seringkali justru tampak sebagai penghambat. Salah satu penelitian (Wahid Foundation bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia, April 2016) menunjukkan bahwa 59,9% dari responden yang diminta tanggapannya, memiliki kelompok yang dibenci. Kalau benar demikian, bukan persatuan dalam kebhinekaan yang tumbuh, tetapi kebencian yang menjadi wajah masyarakat kita. Penelitian lain (CSIS, Agustus 2017) menyatakan bahwa generasi muda (usia 17-29 tahun di 34 provinsi) menyatakan optimis mengenai masa depan Indonesia: 26,9% sangat optimis, 62,3% cukup optimis. Mereka juga tidak setuju (52%) atau kurang setuju (32%) mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Namun dalam penelitian yang sama diungkap bahwa 58,4% tidak menerima pemimpin yang berbeda agama. Angka-angka itu menunjukkan ada sesuatu yang tidak baik, tidak ideal dalam hidup kita sebagai bangsa. Dalam kenyataan seperti itulah kita dituntut oleh iman kita untuk peduli. Kita ingin mewujudkan kepedulian dengan terus-menerus berusaha mengamalkan Pancasila. Kita ingin mengubah tantangan-tantangan ini menjadi kesempatan untuk mewujudkan iman dengan melakukan gerakan-gerakan nyata, mulai dari yang paling sederhana. Ketika kesatuan dan kebhinekaan kita syukuri, kita rawat, kita jaga, dan kita tumbuh kembangkan, akan semakin nyatalah kehadiran Kerajaan Allah – kerajaan kebenaran, keadilan, cita kasih dan damai sejahtera – di tengah-tengah masyarakat kita.

Saudari-saudaraku yang terkasih,

4. Datang dan hadirnya Kerajaan Allah ini pulalah yang dimaklumkan oleh Yesus dalam tindakan-Nya menyembuhkan dan menyatakan orang kusta tahir, sebagaimana dimaklumkan dalam bacaan Injil hari ini (Mrk 1:40-45). Di balik peristiwa ini tersembunyi kehidupan bersama sebagai bangsa, atau mungkin lebih tepat sebagai umat Allah, yang tidak baik dan tidak ideal pula. Memang benar menurut peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang kusta harus diperlakukan seperti yang tergambar dalam bacaan pertama yang diambil dari Kitab Imamat (13:1-2.44-46). Tetapi ketika sembuh, seharusnya dia juga dinyatakan “tahir” oleh yang berwenang menyatakannya, yaitu para imam. Dengan dinyatakan tahir, orang yang sembuh dari kusta dapat masuk lagi ke dalam masyarakat, merayakan ibadah dan menerima hak-haknya sebagai warga masyarakat. Tetapi rupanya menurut kisah Injil hari ini, mereka yang berwenang menyatakan tahir tidak begitu saja mau melakukan kewajibannya. Oleh karena itu orang kusta itu berkata kepada Yesus, “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku” (ay 40). Keadaan masyarakat seperti itulah – para pemimpin agama yang tidak menjalankan peranannya dengan baik dan benar – yang membuat hati Yesus tergerak oleh belas kasihan lalu mengulurkan tangan-Nya, menyembuhkan dan menyatakan orang kusta itu tahir (ay 41-42). Dengan tindakan-Nya itu, Kerajaan Allah yang Ia wartakan – kerajaan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera – menunjukkan wajahnya.

5. Kembali kepada tema tahun persatuan 2018, “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia”. Kita berharap semoga masa Prapaskah ini menjadi kesempatan istimewa bagi kita untuk makin mampu memahami kehendak Allah bagi bangsa kita, khususnya terkait dengan kesatuan dan keragaman bangsa kita. Semoga kita makin mampu mengalami dan merasakan kehadiran-Nya yang menyelamatkan dan kita dikuatkan dalam upaya merawat dan menjaga persatuan dalam kebhinekaan kita dalam upaya menghadirkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat kita. Untuk itu banyak program ditawarkan oleh Panitia Penggerak Tahun Persatuan di lingkungan, paroki, sekolah, dan komunitas-komunitas yang dapat langsung dijalankan, misalnya : menyanyikan lagu “Kita Bhineka – Kita Indonesia”, mendaraskan Doa Tahun Persatuan, mengadakan kenduri paroki, buka puasa bersama, piknik kebangsaan mengunjungi tempat bersejarah nasional dan banyak hal lain yang terdapat dalam buku “Pedoman Karya dan Inspirasi Gerakan Pastoral-Evangelisasi Tahun Persatuan Keuskupan Agung Jakarta”. Terbuka lebar pula kemungkinan untuk upaya-upaya lain sesuai kebutuhan setempat. Yang penting, kita berusaha untuk mempererat persaudaraan dalam masyarakat, tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan perbedaan-perbedaan yang lain. Kita lakukan usaha itu mulai dari lingkup RT/RW secara berkesinambungan. Harapannya, dalam upaya yang berkesinambungan dan saling terkait, usaha-usaha kita membangun persatuan dalam keragaman akan berbuah dalam wujud habitus dan budaya yang baru. Ketika habitus dan budaya baru bertumbuh dan berkembang, bertumbuh dan berkembang pulalah Kerajaan Allah – kerajaan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera.

Saudari-saudaraku yang terkasih,

6. Seperti biasa, untuk membantu kita mengisi masa Prapaskah telah disediakan berbagai bahan pertemuan. Bahan-bahan itu diharapkan dapat membantu kita untuk semakin membuka hati kepada Allah dan peduli kepada sesama kita. Semoga pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan dengan bahan-bahan yang disediakan, menjadi kesempatan bagi kita murid-murid Kristus yang juga beragam, untuk semakin sempurna menjadi satu “agar dunia tahu” bahwa kita adalah murid-murid Kristus (bdk. Yoh 13:35; 17:23). Ketika hidup kita sebagai murid-murid Yesus semakin diwarnai kasih dan persaudaraan yang tulus, kehadiran kita di tengah masyarakat akan menjadi kesaksian yang berdaya. Bahan-bahan yang direnungkan akan membantu kita untuk semakin membuka hati kepada Allah dan mengasah kepeduliaan kita yang kita wujudkan antara lain dengan pengumpulan derma dan aksi nyata sesederhana atau sekecil apa pun. Kita ingin melakukan semua itu “demi kemuliaan Allah” (1 Kor 10:31). Dengan cara ini kita juga berharap agar Kerajaan Allah – kerajaan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera – semakin menunjukkan wajahnya di tengah-tengah kita.

7. Akhirnya, segala yang sudah dan akan kita rencanakan dan lakukan untuk merawat dan menjaga kebhinekaan dan kesatuan, marilah kita lakukan “demi kemuliaan Tuhan” (1 Kor 10:31). Terima kasih untuk berbagai keterlibatan para Ibu/Bapak, Suster/Bruder/Frater, kaum muda dan anak-anak sekalian dalam perutusan Keuskupan Agung Jakarta. Semoga segala pengorbanan dalam keterlibatan itu menjadi sumber kegembiraan kita karena boleh terlibat dalam karya kasih Tuhan. Selamat memasuki masa Prapaskah. Berkat Tuhan untuk Anda sekalian, keluarga dan komunitas Anda. Salam persatuan dalam kebhinekaan.

Jakarta, 9 Februari 2018

† I. Suharyo

Uskup Keuskupan Agung Jakarta

 

 

Surat Gembala Purna Tugas Sebagai Uskup

(dibacakan sebagai pengganti kotbah, pada setiap Misa, Sabtu/Minggu, 3/4 Juli 2010)
Kardinal Yulius Darmaatmadja, SJ, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Jakarta.

1. Para Bapak Uskup, para imam, bruder, suster dan saudara-saudari umat seluruh Keuskupan Agung Jakarta yang terkasih. Pada hari Selasa tanggal 29 Juni 2010 yang lalu, telah dirayakan Perayaan Ekaristi, dengan ujud pokok merayakan pesta Rasul St. Petrus dan Paulus sambil bersyukur, genap saya 27 tahun mengemban tugas sebagai Uskup. Tetapi karena permohonan pengunduran diri saya sebagai Uskup Agung Jakarta telah dikabulkan oleh Paus Benedictus XVI dan telah diumumkan secara resmi pada hari Senin tanggal 28 Juni 2010 Pk. 12.00 waktu Roma atau Pk. 17.00 WIB, maka dalam Perayaan Syukur tadi Bp. Uskup Agung Koajutor diresmikan menjadi Uskup Agung Jakarta yang baru. Memang demikianlah proses resminya, yaitu segera setelah permohonan pengunduran diri saya sebagai Uskup Agung Jakarta dikabulkan oleh Bapa Suci dan resmi diumumkan, saat itu juga Uskup Agung Koajutor resmi menggantikan saya, menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta.

2. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan ucapan banyak terimakasih kepada Anda atas doa-doa, kebersamaan dan kerjasama yang telah saya alami. Tak mungkin saya menyebutkan satu persatu, pokoknya kepada semua saja yang dalam berbagai cara telah terlibat dalam mengembangkan keuskupan kita ini, termasuk kepada mereka yang terlibat dengan cara yang tak kelihatan seperti lewat doa, penderitaan dan kesusahan yang dipersembahkan bagi kepentingan Gereja kita maupun Gereja Universal. Secara tulus saya juga mohon maaf atas segala kesalahan atau kelalaian yang saya buat, kesalahpahaman, sikap atau keputusan yang membawa derita dll. Mengandaikan bahwa Anda para imam, biarawan-biarawati dan umat pasti berkenan untuk memaafkan kesalahan dan kelalaian saya tadi, maka saya dapat mundur dari jabatan Uskup Agung Jakarta ini dalam damai.

3. Sudah lama saya merasa perlu mempersiapkan regenerasi yang baik. Sudah sejak saya merayakan ulang tahun ke 70 tahun itu, saya merasa daya tahan mulai menurun. Mata mulai makin redup, telinga pun ikutan makin kurang mendengar, sehingga hanya cocok untuk pengakuan dosa bagi mereka yang suka mengaku kepada imam yang kurang baik penglihatan dan pendengarannya. Saya berpendapat bahwa pelayanan kepada keuskupan tidak boleh menurun karena Uskupnya menurun kekuatannya. Maka perlu ada pengganti yang lebih muda. Apa lagi menurut hukum Gereja, ketika Uskup mencapai usia 75 tahun, dia diminta untuk mengajukan permohonan pengunduran dirinya sebagai Uskup. Itu semua menjadi tanda kuat bahwa saya perlu mengundurkan diri. Kehendak Tuhan akan menjadi jelas saat Bapa Suci Benedictus XVI mengabulkan permohonan pengunduran diri saya. Kita pantas berterima kasih kepada Tuhan dan kepada Tahta Suci di Vatikan, bahwa masalah kita ditanggapi dengan tepat dan cukup cepat. Kita telah meresmikan hadirnya Bapak Uskup Agung Koajutor Ignatius Suharyo pada tanggal 28 Oktober 2009. Pada tanggal 28 Juni 2010 Pk. 17.00 WIB permohonan pengunduran diri saya dikabulkan dan kita dapat secara liturgis dan simbolis merayakan alih tugas sebagai Uskup Agung Jakarta tanggal 29 Juni 2010 dalam Perayaan Ekaristi Pk. 18.00 di Katedral. Saya mengajak Anda sekalian untuk bersyukur karena Keuskupan Agung Jakarta telah memiliki Uskup Agung baru yang cukup muda. Dalam khotbah saya tanggal 29 Juni yang lalu saya mengajak agar kita semua memaknai peristiwa-peristiwa sejarah gereja kita dalam terang iman, yaitu dalam kuasa bimbingan Tuhan Yesus dan Roh-Nya. Demikian pula saat Anda mengalami peristiwa sejarah Gereja Keuskupan Agung Jakarta yaitu momentum peralihan kepemimpinan Keuskupan Agung Jakarta saat ini.

4. Dengan surat ini, saya mohon pamit kepada Anda, karena saya sudah purna tugas sebagai Uskup Agung Jakarta. Telah 14 tahun saya melayani Anda dan bekerja sama dengan Anda agar Keuskupan Agung Jakarta tetap menjadi ragi dan terang, bagi kesejahteraan hidup masyarakat baik dalam hal rohani maupun jasmani. Untuk itu kita semua telah mencoba mengembangkan kasih persaudaraan yang sejati dan terbuka serta mencoba membangun cara hidup dan perilaku yang benar, jujur adil dan peduli terhadap siapa pun yang menderita di tengah kita sambil sedapat mungkin menularkan semangat yang sama diantara tetangga dan teman kerja kita. Kita menghayatinya seperti 70 murid Yesus yang diutus berdua-dua seperti dikisahkan dalam Injil tadi (bdk. Lk 10:1) lewat gerakan memberdayakan Umat Basis. Memang tidak mudah, karena terkadang kita sendiri yang terpengaruh oleh cara hidup yang sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat, antara lain “tidak perlu jujur, yang penting makmur”, “tidak perlu tulus, asal banyak fulus”. Rasanya kita diutus hidup di dunia ini dengan melawan arus cara hidup lain yang umum terjadi. Dalam Injil tadi Yesus mengatakan: “Sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” (Lk 10:3). Meski sulit kita usahakan agar kita setia kepada Yesus dan tetap menjadi garam yang asin. Dengan cara itu kita berusaha terus mendatangkan ”Kerajaan Allah” (bdk. Lk 10:9) baik bagi diri sendiri, keluarga, komunitas dan Gereja kita maupun bagi masyarakat. Kita berusaha mengandalkan kekuatan rahmat Tuhan Yesus dan Roh-Nya yang memiliki tuaian dan mengutus pekerja-pekerja ke dalam tuaian itu (bdk. Lk 10:2). Meskipun saya sudah tidak menjadi Uskup Agung Jakarta, namun saya merasa masih tetap bersatu dan bersama dengan Anda dalam Gereja yang sama dan dalam perutusan yang sama. Kita tetap saling mendoakan. Amin.

Teriring salam dan berkat,

+Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ

Surat Bapak Uskup Untuk Keluarga

(Hari Raya Keluarga Kudus, 27 Desember 2009)

Mgr. I. Suharyo, Uskup Agung Jakarta.

1. Keluarga-keluarga Katolik dan saudara-saudari umat Keusukupan Agung Jakarta yang terkasih. Mengawali surat kami kepada Anda, kami sampaikan salam bahagia Natal kepada saudara-saudari. Semoga masa natal ini membahagiakan Anda beserta seluruh keluarga.

Surat ini kami tulis kepada Anda saat GEreja sedang merayakan Tahun Imam, memperingati 150 tahun wafat Pastor Paroki Ars, yaitu Pastor Yohanes Maria Vianney, pelindung para imam. Maka mari kita rayakan pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosef dengan penuh syukur, karena dari Keluarga Kudus itu lahir Yesus Imam Agung Perjanjian Baru. Kita syukuri pula bahwa dari keluarga Mateus Vianney dan Maria Beluse pada tanggal 8 Mei 1786, lahir Yohanes Maria Vianney, teladan dan pelindung para imam.

Kelahiran Yesus membawakan keselamatan, dan kelahiran imam-imam memungkinkan semua orang lahir dari keluarga, menerima karunia keselamatan itu lewat sakramen inisiasi.

2. Betapa pentingnya keluarga di hadapan Allah. Karena keselamatan terbit dari keluarga Kudus, dan lewat keluarga-keluargalah rencana Allah untuk menyelamatkan manusia terlaksana, yaitu lewat keluarga yang melahirkan dan membesarkan mereka yang akan dipanggil menjadi imam-imam-Nya. Untuk menjelaskan hal itulah bahwa hari ini bacaan I diambil dari kisah panggilan Samuel. Lewat keluarga kudus Elkana dan Hana, Samuel dilahirkan dan Allah berkenan memanggil Samuel untuk menggantikan Imam Agung Heli yang melayani kenisah. Hana, ibu Samuel menyadari penuh bahwa Samuel adalah karunia Allah karena Samuel dikandung berkat permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah. Apa yang diterima dari Allah dipersembahkan kembali kepada Allah untuk dipakai sekehendak hati-Nya.

3. Lewat keluarga, Allah menciptakan manusia menurut atau seturut gambar Allah, untuk dicintai dan dimuliakan bersama Allah. Lewat Keluarga Kudus yang melahirkan dan membesarkan Yesus Imam Agung Perjanjian Baru, Allah menyelamatkan manusia yang berdosa supaya manusia yang berdosa tetap dapat dimuliakan bersama Dia. Allah berkenan memanggil banyak anak dari keluarga-keluarga untuk menjadi imam-imam. Lewat mereka inilah imamat Yesus dilanjutkan hadir di tengah Gereja-Nya, dan lewat mereka ini Allah menyelamatkan semua orang, bahkan menjadikan mereka anak-anak Allah lewat sakramen inisiasi. Bacaan II hari ini meneguhkan hal ini. St. Yohanes menulis: “… betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah” (1 Yoh 3: 1). St. Yohanes Maria Vianney dalam Karekese mengenai imam kepada anak-anak juga menulis demikian: “Inilah Dia (yaitu imam) yang menjadikan aku anak Allah, yang membukakan pintu Surga bagiku dengan Sakramen Baptis yang kudus; … (Bdk Katekese, hlm. 117).

4. Allah sangat membutuhkan keluarga-keluarga yang dibangun demikian rupa sehingga kalau Tuhan menghendaki, dari keluarga Anda dapat tumbuh tidak hanya calon imam-imam, tetapi juga calon biarawan dan biarawati atau tokoh-tokoh awam yang berbakti dalam Gereja maupun di tengah masyarakat. Untuk itu keluarga Anda perlu Anda bangun menjadi umat basis mini atau Gereja Kecil, di mana Kristus menjadi pusatnya; di mana suami mencintai Kristus lewat mencintai interi dan anak-anak, di mana isteri mencintai suami dan anak demi cintanya kepada Kristus sendiri. Kalau hidup berkeluarga dihayati dengan iman, segala kesulitan sudah sejak dini dapat diatasi, sehingga tidak akan menimbulkan ketegangan atau percekcokan yang besar.

5. Memang Gereja kita membutuhkan imam, biarawan, biarawati, awam dan tokoh-tokoh yang berkualitas tinggi, kalau kita yang jumlahnya hanya sedikit itu mau memiliki pengaruh baik bagi masyarakat. Kami dukung paguyuban orang tua imam, biarawan, biarawati. Doa-doa Anda dan usaha Anda menjaga agar putra-putri Anda tetap menjadi pelayan Allah yang baik sangatlah terpuji. Demikian pula Anda yang tidak mempunyai anak menjadi calon imam, imam atau biarawan-biarawati tetapi sangat peduli dan ikut serta dalam mendukung terselenggaranya pendidikan calon imam yang baik, kami syukuri. Maka kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan segala cara mendukung timbulnya banyak panggilan imam dan hidup bhakti, membantu novisiat dan seminari-seminari, termasuk di dalamnya Gotaus.

6. Akhirnya dengan semangat pastoral gembala baik kami menganjurkan agar keluarga-keluarga Katolik berdoa dan menjadi kekuatan moral agar jangan sampai ada seorang imam pun atau seorang biarawan-biarawati atau tokoh umat atau keluarga yang “hilang” atau satu keluarga yang tanpa rezeki kehidupan. Sekali lagi kami sampaikan “Selamat Natal” dan “Selamat Tahun Baru”. Semoga Keluarga Kudus menjadi teladan dan pelindung Anda serta memberti Anda.

Dari uskup Anda,

Mgr, Ignatius Suharyo Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ
Uskup Koajutor Uskup Agung Jakarta