Saatnya Bertobat dan Membarui Diri


“Sabda Tuhan adalah rakhmat, orang lain adalah anugerah”, itulah judul dari Pesan Paus Fransiskus kepada umat Katolik dalam memasuki masa puasa 2017. Gereja Katolik akan segera memulai masa puasa sejak hari Rabu Abu, 1 Maret 2017. Di awal pesan itu Paus Fransiskus mengingatkan bahwa masa puasa adalah momen pertobatan, kesempatan mendalami kehidupan spiritual yang bersumber pada Injil.

Dalam pesan-pesannya, Paus Fransiskus merefleksikan perumpaan orang kaya dan Lazarus yang miskin dari Injil Lukas 16:19-31. Bapa Suci memfokuskan refleksinya pada (1) kerelaan menerima orang lain sebagai anugerah (gift), (2) ancaman dosa yang membutakan hati dan kehendak; dan (3) Sabda Allah sebagai anugerah karena mampu menggerakkan hati untuk bertobat. Ketiga elemen ini dapat dielaborasi seperti berikut. 
Pertama, Paus Fransiskus menggarisbawahi dua karakter yang bertolak belakang dari perumpaan itu untuk menegaskan ajarannya mengenai orang lain sebagai anugerah dan ancaman dosa yang membutakan hati dan kehendak. Bagi Fransiskus, kisah Lazarus yang miskin, tak berdaya, penuh luka bernanah dan menggantungkan kelangsungan hidupnya dari remah-remah yang jatuh dari meja makan orang kaya (lih ayat 20-21) menegaskan ketakberdayaan dan ketergantungan total seseorang pada belaskasih dan kebaikan orang lain. Ketergantungan itu justru tidak mendapat respon positif dari orang kaya.

Bagi sebagian orang, Lazarus adalah gambaran penelantaran oleh Allah. Kontras memang, karena nama orang itu adalah Lazarus, yang artinya “Allah telah menolong” (nama panggilan dari nama Yahudi Eleazar). Di mata Allah, Lazarus memang orang yang mendapat pertolongan-Nya, dan itu nampak dari kisah dramatis bagaimana dia mendapatkan “kenikmatan” hidup surgawi setelah kematian.
Menurut Paus Fransiskus, cara Lukas mempresentasikan perwatakan Lazarus menegaskan betapa sesama adalah anugerah. Berbeda dari “orang kaya” yang tidak disebutkan siapa namanya, Lukas mempresentasikan orang miskin dengan nama dan identitas tertentu. Inilah cara Allah memuliakan orang miskin dan tak-berdaya sebagai pihak yang bermartabat dan mendapat pertolongan Allah.
Dengan pemahaman demikian, bagi Paus Fransiskus, orang lain yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah pribadi tertentu, pribadi yang memiliki identitas tertentu, yang dikasihi Allah, dan yang kehadirannya dalam hidup kita adalah “seruan” atau “desakan” untuk menolong. Paus Fransiskus menggunakan kata “wajah” untuk menggambarkan kehadiran orang lain dalam hidup kita. “Wajah” orang lain yang hadir dalam hidup kita adalah “perintah” bagi kita untuk melakukan kebaikan. Bagi Paus Fransiskus, setiap perjumpaan dengan orang lain seharusnya menjadi kesempatan untuk menerima, menghormati, dan mengasihi mereka.
Kedua, penginjil Lukas tampaknya sengaja menampilkan orang kaya tanpa nama atau identitas tertentu. Kita hanya menangkap gambaran orang kaya sebagai pribadi yang mengenakan jubah ungu dan kain halus dan suka berpesta pora. Perwatakan demikian mewakili sifat seluruh manusia yang hatinya terikat erat pada  uang, kemewahan dan kesombongan. Pribadi orang kaya dalam perumpamaan ini menegaskan bahaya kelekatan pada uang sebagai sumber dosa (1Tim 6:10), sebagai berhala baru (Evangelii Gaudium, art. 55).
Kelekatan pada uang, kemewahan, dan kesombongan (membiarkan Lazarus tertidur di hadapannya tanpa ada rasa iba memberinya makan adalah tanda kesombongan dan kerasnya hati) justru akan membutakan hati dan mengeraskan kehendak untuk berbuat kebaikan pada orang lain.
Ketiga, bagaimana kita yakin bahwa orang lain adalah berkat, dan bahwa kebaikan yang kita lakukan kepadanya itu kita lakukan bagi Allah? Menurut Lukas Penginjil, kita tidak perlu menunggu orang mati bangkit dan memberitahu kita bahwa orang baik mengalami kebahagiaan kekal di surga (bdkayat 31). Ini yang digunakan Paus Fransiskus untuk menegaskan Sabda Allah yang kita baca dalam Injil sebagai anugerah dan rakhmat yang sanggup menggerakkan hati. Dengan membaca Injil, kita menangkap kesaksian Musa dan para nabi (lih ayat 31), tetapi juga ajaran dan teladan Yesus Kristus tentang bagaimana kita harus bersikap dan bertindak. Itulah sabda yang menggerakkan hati dan memperteguh kehendak untuk berbuat kebaikan kepada sesama.
Paus Fransiskus menegaskanbahwa masa prapaskah seharusnya menjadi momen pertobatan, terutama untuk melepaskan diri dari karakter “orang kaya”. Pertobatan itu dapat kita lakukan dengan memanfaatkan seluruh sarana pertobatan yang disediakan gereja. Hanya dengan demikian, kita sanggup menerima orang lain (Lazarus-Lazarus lain) sebagai anugerah. Wajah dan kehadiran orang lain akan menjadi kesempatan bagi kita untuk mengasihi dan mengampuni. Itulah jaminan bagi kebahagiaan hidup di dunia dan hidup kekal di surga. (Yeremias Jena)

Satu tanggapan untuk “Saatnya Bertobat dan Membarui Diri

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.