Katekisasi yang Menyapa

NAZ_0136

Perbedaan keadaan sosio-kultural menyulitkan kita menyeragamkan suatu metodologi tertentu dalam berkatekese, terutama mempersiapkan calon baptis dewasa. Tetapi satu hal muncul sebagai semacam pengalaman bersama ketika teman-teman katekis mengeluhkan kurang bersemangatnya para calon baptis selama proses pengajaran. Ketika menanggapi hal ini, para katekis mendorong semacam pendekatan baru dalam berkatekese, misalnya penggunaan teknologi informasi. Sebagian katekis lalu melengkapi pengajaran mereka dengan tampilan power point yang menarik, potongan-potongan video atau film pendek, membawa katekumen mengunjungi komunitas marginal, dan sebagainya.

Meskipun demikian – dan ini yang sering dikeluhkan Romo Paroki ketika mewawancarai dan melakukan semacam tes kepada calon baptis dewasa – pengetahuan dasar para katekumen selalu belum memadai. Bagi para katekis, hal semacam ini seharusnya tidak terjadi, terutama ketika tes itu dilakukan menjelang penerimaan Sakramen Baptis.

Pertanyaannya, apakah para ketekumen benar-benar tidak tahu ketika diminta menjelaskan “apa itu Gereja Katolik”, “apa itu Tri Tunggal Maha Kudus”, “apa itu Sakramen”, “mengapa orang Katolik berdevosi kepada Bunda Maria”, “apakah berdevosi kepada orang kudus sama dengan menyembah berhala”, dan semacamnya? Atau, jangan-jangan para katekumen merasa tidak mampu menjelaskan ajaran-ajaran dasar Gereja Katolik dalam diksi yang tepat seperti yang ingin didengar dan diketahui para katekis atau para Romo Paroki?

Pengalaman mengajar di kelas katekumen dewasa menunjukkan fenomena menarik. Para katekumen memang aktif dalam mendiskusikan kasus-kasus yang berhubungan dengan pewartaan cinta kasih Gereja. Misalnya, pelayanan kepada orang miskin, kelompok lansia, atau perjuangan keadilan dan penegakan martabat manusia. Meskipun demikian, para katekumen umumnya menanggapi masalah sosio-kultural secara sangat umum dengan kandungan perspektif Kristiani yang tergolong rendah.

Bagi saya, pengalaman sederhana ini bisa menjawab keresahan beberapa Romo Paroki ketika harus memastikan apakah seorang katekumen “layak” dibaptis dalam Gereja Katolik. Para ketekumen mungkin saja mampu menghafal rumusan Aku Percaya, tata urutan perayaan Ekaristi, Doa Rosario, dan sebagainya. Tetapi tidak demikian dengan ajaran-ajaran iman yang rumusannya cukup abstrak dan teologis. Selain itu,  di daerah urban, para katekumen dewasa adalah kelompok sosial dengan latar belakang pendidikan yang memadai. Ini tampak dari cara mereka menanggapi berbagai kasus sosial yang didiskusikan di kelas, meskipun perspektif mereka masih terlalu

Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam pastoral katekese calon baptis dewasa. Pertama, jika inti ajaran iman harus dimengerti atau dihafal, sebaiknya ditunjukkan juga relevansinya dengan kehidupan nyata. Misalnya, ketika menjelaskan makna “Bapa” dalam rumusan Aku Percaya, bagaimana ajaran itu dapat menjelaskan berbagai situasi sosial yang semakin hari semakin kehilangan relasi personal dengan Allah (Bdk Riki Maulana B. “Yesus: Sungguh Allah Sungguh Manusia”, dalam Josep Ferry Susanto, Credo dan Relevansinya, 2014: 89-90). Dalam arti itu, jika harus dites sebagai syarat dibaptis, tekanan sebaiknya tidak diberikan pada hafalan, tetapi pada bagaimana katekumen mampu menanggapi secara tepat kasus-kasus riil tertentu dalam kehidupan menggereja dari perspektif ajaran Gereja Katolik yang sudah mereka

Kedua, saya terbiasa memulai kuliah etika dengan menjelaskan dan melatihkan mahasiswa cara berpikir etis sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan cara berpikir ilmu lain. Pendekatan yang sama mungkin menarik untuk dicobakan dalam katekese baptis dewasa. Sudah saatnya katekis memperkenalkan dan membiasakan cara berefleksi khas Katolik agar katekumen memperkaya cara bernalarnya yang masih umum kepada cara bernalar yang semakin khas Katolik. Buku-buku persiapan katekumen yang beredar saat ini belum menyertakan hal kedua

Dalam terang Evangelii Gaudium, katekisasi seharusnya adalah kegembiraan yang dibagikan (nr. 2-8). Dan ini menuntut kreativitas dalam penyampaian agar kabar sukacita itu tidak menjadi beban. Salah satunya adalah dengan mengganti pendekatan dari satu arah, menghafal dan literer kepada pendekatan yang lebih menyapa dan membangkitkan kerinduan untuk semakin dekat dengan Dia yang lebih dahulu memanggil. Dan itu harus dicoba dari sekarang.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.