Makna Menjadi Martir

Renungan Hari Minggu Biasa ke-32 (9-10 November 2019)

Bacaan 1: (2Mak 7:1-2.9-14); Bacaan 2: 2 Tes 2:16-3:5; Bacaan Injil: Luk 20:27-38. Mazmur Tanggapan: Mzm 17:1.5-6.8b.15; Ul:15b.

Ilustrasi martir suci dan kematian mulia dalam Kitab Kedua Makabe, 7:1-42.

Hari ini, Minggu Biasa yang ke-32, tanggal 10 November 2019. Seperti apakah renungan kita mengenai bacaan-bacaan suci dan tekad kita untuk menghidupinya seminggu ke depan?

Di bacaan pertama dari Kitab Kedua Makabe, kita mendengar kisah tragis dibunuhnya 7 bersaudara bersama ibu mereka karena menolak menyangkal Allah.

Bacaan kedua, dalam Surat Kedua kepada Jemaat di Tesalonika, Rasul Paulus mengingatkan kita soal penghiburan yang hanya dari Allah dan semoga kita senantiasa menyandarkan sumber penghiburan kita pada Dia.

Sementara dalam bacaan Injil, Santo Lukas menarasikan kepada kita kisah yang juga sangat terkenal, yakni soal penolakan orang Saduki akan kebangkitan orang mati. Dan untuk itu, mereka menantang Yesus dengan sebuah kasus yang menurut mereka adalah dilematis: jika ada kebangkitan, siapa yang akan menjadi suami dari perempuan yang telah dinikahi oleh 7 orang bersaudara selepas yang satu mendahului yang lainnya karena meninggal dunia?

Ada paling tidak 4 tema refleksi yang bisa diangkat, yakni:

  1. Hidup dalam spiritualitas kemartiran (inspirasi dari bacaan pertama);
  2. Kebangkitan sebagai sumber bagi kekuatan hidup (inspirasi dari bacaan Pertama dan Injil);
  3. Bahaya dari mereduksikan ukuran Allah kepada ukuran dan cara berpikir manusia (inspirasi dari bacaan Injil); dan
  4. Pentingnya hidup dalam keutuhan sikap atau integritas (inspirasi dari bacaan Injil).

Saya memilih merefleksikan spiritualitas kemartiran. Selain karena bacaan dari Kitab Kedua Makabe itu sangat menjijikkan kalau kita baca seluruh kisah bab 7 ayat 1-42 itu, tetapi juga karena kekaguman kita pada pengorbanan para martir itu. Bahwa di hadapan siksa dan kekejaman penguasa kafir, harapan pada Allah sebagai satu-satunya andalan tidak tergoyahkan.

Sedikit mengulik kisah Tujuh Orang Bersaudara serta Ibunya yang Disengsarakan dan Dibunuh itu, mari kita simak beberapa gagasan inti berikut.

  • Penguasa kafir sedang menguasai dan menjajah Israel Kuno. Mereka memaksa orang Israel melanggar hukum Allah, yakni dengan memakan babi. Artinya: penguasa kafir yang tiran itu sedang berusaha menggoda orang Israel supaya menjauh dan memutus relasi mereka dengan Allah. Padahal Allah bahkan telah mengatur tata makanan dan tata hidup keseharian mereka.
  • Setelah membaca kisah itu, mungin beberapa dari kita spontan berkomentar, “Ah… dipaksa makan daging babi saja koq bisa senekat itu mempertaruhkan nyawa?” Ada juga yang mungkin menimpali, “Nyawa lebih penting daripada makan daging babi, bro! Lagian, Allah kan tidak kelihatan?”
  • Tetapi coba kita ajukan pertanyaan ini: Mengapa Allah melarang orang Israel mengonsumsi makanan tertentu? Apalagi kita orang Katolik pasti bilang, “Yang haram itu yang keluar dari hati kita, bukan yang masuk ke dalam perut kita!”
  • Mari kita tidak melupakan kenyataan ini, bahwa TERNYATA seluruh binatang yang diharamkan Allah untuk dimakan orang Israel adalah hewan-hewan yang menjadi MAKANAN SUCI di Mesir.
  • Jadi, kita menjadi sadar sekarang, bahwa larangan Allah kepada orang Israel untuk mengonsumsi daging tertentu itu maksudnya adalah supaya orang Israel TIDAK KEMBALI KE PRAKTIK-PRAKTIK AGAMA KAFIR sebagaimana yang pernah mereka pelajari dan praktikkan semasa pembuangan di Mesir.
  • Anak-anak muda dan ibu mereka yang kisah tragisnya kita dengar hari ini menjadi contoh paling ekstrem bagaimana orang Israel mau SETIA pada Allah. Mereka mengalami Allah hadir secara NYATA, dan kehadiran-Nya itulah yang membuat mereka kuat menghadapi siksaan.

Gagasan apa yang bisa kita ambil dari kisah KESETIAAN TOTAL pada Allah semacam ini?

Kita tidak boleh lupa, bahwa sebagai manusia lemah, selalu ada saat dalam hidup kita di mana relasi dan kesetiaan kita kepada Allah menimbulkan konsekuensi tertentu yang HARUS DITANGGUNG.

Dan itu nyata. Asal melihat ke sekeliling kita dan kita bisa mengetahui berapa banyak pesohor atau malahan saudara kita sendiri yang menanggalkan iman Katoliknya dengan alasan-alasan yang beragam.

Dalam situasi demikian, yakni ketika banyak “orang kita” menanggalkan iman Katoliknya, analogi klasik ini muncul dalam pikiran saya: semakin mendalam cinta seseorang kepada kekasihnya, semakin ia mempertaruhkan segalanya demi sang kekasih itu.

Anda bisa menarik konsekuensi logisnya, bukan?

Sebagai inspirasi bagi kehidupan kita seminggu ke depan, mari kita mulai dengan mengingat makna kata “martir”.

Berasal dari kata Bahasa Yunani martyrios, martir artinya “saksi” (witness). Menjadi saksi sampai menyerahkan nyawa sebagaimana yang dilakukan tujuh bersaudara dan ibu mereka dalam Kitab Kedua Makabe itu adalah konsekuensi yang paling tinggi dan paling luhur.

Mungkin tidak semua kita akan mencapai level sedemikian tingginya.

Meskipun demikian, kita bisa menjadi “martir” dalam arti menjadi SAKSI Allah dalam kehidupan sehari-hari, entah di rumah, di sekolah, di tempat kerja, atau bahkan di masyarakat.

Dalam arti apa kita menjadi SAKSI alias martir di keseharian kita?

Pertama, mari kita menjadi SAKSI bahwa Allah itu nyata. Allah bukanlah konsep, bukan juga daya kekuatan kosmos yang mengisi lubang kosong ketidakmengertian kita. Allah sungguh nyata. Dia menatang keseharian kita. Melalui seluruh tingkah laku dan tindak baik kita sehari-hari, orang lain akan menyadari betapa orang Katolik sungguh menghadirkan Allah itu.

Kedua, Allah itu baik. Kita sedang hidup dalam masyarakat yang penuh kebencian dan pesimisme. Kita sering lupa kalau Allah itu baik. Kebaikan tertinggi Allah adalah MERELAKAN Putra tunggal-Nya untuk datang kedunia demi memulihkan hubungan kita yang terputus karena dosa.

Ketika banyak orang yang membenci, menista, menghojat, bahkan meremehkan orang Katolik, dan kita membalasnya dengan kebaikan, dengan cinta yang tulus tanpa henti, dengan tidak memutus tali silaturahmi, ketika itu pula kita memperlihatkan Allah sebagai Bapa yang baik itu.

Gaungkan lagu ini dalam hatimu: Bapa Engkau sungguh baik, kasih-Mu melimpah, di hidupku…. Dst.

Ketiga, mari kita tidak mengkalkulasi untung rugi soal “pengorbanan” kita demi Allah.

Ahok menjadi contoh nyata, betapa kesetiaan pada niat baik yang dijiwai Injil telah membawanya kepada pengorbanan semacam itu.

Menjadi SAKSI memang menyakitkan, membawa kesengsaraan. Tetapi bukankah itu yang menjadi dasar iman kita bahwa akan semakin banyak orang membenci dan menganiaya kita hanya karena kita beriman pada Kristus yang bangkit?

Mari kita menata hidup kita semoga semakin berani menjadi saksi Kristus dalam hidup kita sehari-hari. Amin!

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.