Keutamaan Kristiani (11): Dosa Melawan Pengendalian-Diri

maxresdefault.jpg

Para pembaca Warta Minggu terkasih. Keutamaan terakhir dari empat keutamaan moral (keutamaan manusiawi) adalah keutamaan pengendalian diri (temperance). Dalam kolom “Pojok Katekese” sebelumnya (WM 40: 13-14), kami menekankan dua hal utama dalam keutamaan pengendalian diri, yakni pengendalian hawa nafsu dan pentingnya memurnikan hati. Konsekuensi logisnya, diskusi mengenai dosa melawan keutamaan pengendalian-diri sebenarnya adalah sisi negatif dari kedua elemen tersebut. Artinya, orang Katolik yang dipenuhi hawa nafsu dan tidak murni hatinya sebenarnya sedang berdosa melawan keutamaan pengendalian-diri.

Perhatikan bahwa menyimpulkan hal demikian tidak menjadi jelas dengan sendirinya. Berbagai contoh konkret berhubungan dengan dosa melawan keutamaan pengendalian-diri sebaiknya kita diskusikan lebih lanjut.

Konkupisensi

Sebagai manusia, kita tidak pernah bisa membebaskan diri dari godaan. Gereja Katolik mengajarkan bahwa godaan ini berhubungan dengan dampak dari dosa asal, yang meskipun telah dibersihkan dan dihapus melalui Sakramen Pembaptisan, dampaknya sama sekali tidak hilang. Selalu ada potensi dalam diri kita untuk melakukan kejahatan dan dosa, dan godaan mendorong kita ke arah kemungkinan melakukan tindakan dosa.

Salah satu akibat dari dosa asal yang tidak pernah hilang dalam diri kita adalah apa yang disebut sebagai “konkupisensi”, yakni kecenderungan untuk berbuat jahat (Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004: 161). Konkupinsensi sendiri adalah hasrat, keinginan, dambaan, dorongan kuat dalam diri kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan nafsu (appetite) yang lebih rendah atau yang berlawanan dengan nalar. Salah satunya – dan yang sering diidentikkan dengannya – adalah hasrat atau keinginan-keinginan sensual.

Berbagai godaan untuk berbuat dosa yang berhubungan dengan keutamaan pengendalian-diri dapat disebutkan di sini. Pertama, sifat rakus dan tamak (gluttony). Orang disebut rakus pertama-tama bukan karena jumlah makanan yang dimakan (meskipun hal ini juga penting diperhatikan), tetapi hasrat dan ketergantungannya pada makanan tertentu. Bahasa gaulnya, orang yang menjadi maniak dengan makanan tertentu.

Kedua, sifat ketergantungan pada alkohol, pada minuman adiktif tertentu, juga penyalahgunaan obat-obatan. Termasuk ke dalam tindakan dosa jenis ini adalah penyalahgunaan keindahan alam untuk hal-hal yang buruk, merusak alam, dan semacamnya.

Ketiga, ketergantungan pada kenikmatan seksual. Jenis ketergantungan ini nyata dalam nafsu seks (lust), tidak sopan dalam berpakaian (immodest), prostitusi, pornografi, masturbasi, bahkan ketika orang menjadikan pasangan hidupnya hanya sebagai objek pemuas hasrat seks.

Keempat, sifat pemarah berlebihan (anger) dalam arti kemarahan tanpa alasan yang jelas atau tidak sesuai konteks atau sekadar demi mempermalukan orang lain. Tidak termasuk dosa adalah kemarahan seseorang terhadap rekannya karena rekannya melakukan suatu dosa atau kejahatan.

Kelima, sifat sombong (pride) secara berlebihan. Seorang memilliki sifat sombong ketika dia menganggap dirinya lebih penting, lebih menonjol, lebih pintar, semata-mata demi pemuliaan diri (self-glorification).

Keenam, dalam konteks kehidupan modern, ketergantungan pada media sosial dan media hiburan lainnya dapat digolongkan sebagai doss melawan pengendalian-diri. Media sosial pertama-tama adalah alat untuk berkomunikasi dan mempromosikan kebaikan. Ketergantungan berlebihan padanya memosisikan individu sebagai objek atau budak media sosial, dan itu menandakan kegagalannya dalam mengendalikan dirinya.

Pengendalian-diri Sebagai Senjata

Menghadapi godaan dan perilaku dosa sebagaimana disebutkan di atas, pengendalian-diri dapat menjadi “senjata” yang baik untuk membantu individu menjalani hidupnya secara berkeutamaan. Sekali lagi, godaan-godaan yang disebutkan di atas berhubungan dengan hasrat, nafsu, dorongan yang sifatnya menyenangkan secara inderawi. Untuk menahan godan itu, kita butuh tidak hanya kemampuan mengendalikan diri, tetapi juga kemampuan mengendalikan kehendak (will).

Misalnya, kita tahu bahwa seorang perempuan dengan pakaian seksi itu membangkitkan birahi. Ada godaan untuk terus memandang ke arah perempuan itu. Dalam situasi demikian,  kita butuh kehendak untuk mengendalikan diri, misalnya, memutuskan untuk tidak memerhatikan perempuan itu atau fokus pada hal-hal baik dari dirinya. Demikian pula godaan-godaan lain seperti kemarahan, kerakusan, ketergantungan pada media sosial, dan sebagainya.

Perhatikan bahwa sebagai keutamaan, pengendalian-diri sebenarnya adalah alat. Menggunakan alat ini secara baik dan benar akan memampukan kita memiliki pribadi yang berkeutamaan. Dan seperti keutamaan-keutamaan lainnya, kita harus terus menerus melatih diri dalam keutamaan ini.

Kita berdoa semoga Roh Kudus menguatkan kehendak kita dan memampukan kita untuk menahan atau melawan godaan, terutama yang berhubungan dengan kenikmatan inderawi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Keutamaan Kristiani (10): Pengendalian-Diri

index

Keutamaan moral atau keutamaan manusiawi terakhir yang dibahas kali ini adalah pengendalian-diri. Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 1809 memosisikan pengendalian-diri sebagai keutamaan yang “menaklukkan” daya Tarik kenikmatan (pleasure) dan membantu manusia menyeimbangkan penggunaan barang-barang material. Menurut Catholic Encyclopedia, keutamaan pengendalian-diri berhubungan dengan kesulitan yang dihadapi manusia bukan sebagai makhluk rasional tetapi sebagai binatang. Mari kita ingat, bahwa manusia memiliki sisi rasional di mana kehidupannya dikendalikan oleh nalar. Tetapi manusia juga memiliki sisi non-rasional, di mana kehidupannya dikendalikan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kenikmatan badaniah. Santo Thomas Aquinas menyebutnya sebagai “disposisi pikiran yang mengendalikan dorongan nafsu” (Niemiec, R. M. (2013). VIA character strengths: Research and practice (The first 10 years). In H. H. Knoop & A. Delle Fave (Eds.), Well-being and cultures: Perspectives on positive psychology (pp. 11-30). New York: Springer).

Mengendalikan Hawa Nafsu

Barang-barang material yang kita gunakan menimbulkan kenikmatan tertentu. Itu yang menyebabkan kita selalu ingin menggunakannya. Kenikmatan ini semakin bertambah ketika pasar terus memromosikan barang-barang material sebagai hal yang harus dikejar dan diakumulasi jumlahnya. Dalam situasi demikian, kadang kita membiarkan hidup dikendalikan oleh hasrat, nafsu dan keinginan-keinginan yang tak-rasional. Karena dorongan nafsu, kita membeli barang dan jasa yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tidak jarang kita juga menumpuk kekayaan, mengejar kemuliaan diri, dan sebagainya. Termasuk di dalam kenikmatan ragawi adalah nafsu dan keinginan seks, kerakusan akan makanan, dan seterusnya.

Harus diakui, kita tidak pernah bisa membebaskan diri dari godaan dan kenikmatan yang ditimbulkan barang-barang material ini. Menyadari hal ini, Gereja Katolik mengajarkan kita akan pentingnya memiliki keutamaan pengendalian-diri. Menghadapi berbagai godaan ini, orang yang memiliki keutamaan pengendalian-diri akan menyeimbangkan godaan kenikmatan demi mendatangkan suatu kebaikan. Keutamaan ini memampukan kita mengendalikan insting kita dan mengarahkan kita kepada hasrat untuk merealisasikan hal yang lebih terhormat. KGG artikel 1809 menegaskan bahwa orang Katolik dengan keutamaan pengendalian-diri akan mengarahkan dorongan-dorongan ragawinya ke arah upaya mencapai kebaikan yang menyelamatkan jiwanya. KGK artikel 1809 mengutip Kitab Sirakh, “Hati dan kekuatanmu jangan kau turutkan untuk berlaku sesuai dengan hawa nafsu hatimu” (Sir 5:2).

Tradisi moral Katolik mengajarkan bahwa godaan untuk menikmati barang-barang material dan nafsu ragawi berasal dari “gairah” (passion) dalam diri kita. Gairah atau hawa nafsu itu utamanya meliputi dorongan menikmati makanan (tamak), kemarahan (anger), dan birahi seks (lust). Inilah hawa nafsu paling hewani dalam diri setiap manusia yang harus dihadapi dengan keutamaan pengendalian-diri.

Memurnikan hati

Tahap paling dasar dalam perkembangan hidup rohani adalah tahap pertobatan (via purgative). Hawa nafsu yang disebutkan di atas sering menjadi penghalang pertumbuhan rohani karena mengaburkan hasrat dan dorongan jiwa untuk berelasi dengan Allah. Karena itu, sangatlah penting memulai perjalanan rohani di tahap ini dengan melatih dan membiasakan keutamaan pengendalian-diri dengan memurnikan hati. Hanya melalui hati yang murnilah kita dimampukan mengatasi berbagai godaan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa kita harus memulainya dengan pemurnian hati? Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), hati perlu dimurnikan karena dari hatilah berasal segala pikiran dosa, pembunuhan, perzinahan, percabulan, dan semacamnya. Inilah godaan dan hawa nafsu ragawi yang bermula dari hati, dank arena itu, perlawanannya juga harus dimulai di hati (KGK 2517).

Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 1809 mengutip Santo Agustinus untuk menegaskan pentingnya pemurnian hati sebagai jalan membentuk keutamaan pengendalian diri. “Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)” (Agustinus, mor. Eccl. 1,25,46).

Pemurniaan hati dilakukan sebagai upaya sadar kita untuk mengembalikan segala tindakan dan perilaku kita yang semula di bawah kekuasaan hawa nafsu kepada penguasaan oleh rasio (nalar). “Kebajikan kemurnian berada di bawah pengaruh kebajikan pokok penguasaan diri, supaya meresapi haws nafsu dan keinginan inderawi manusia dengan akal budi” (KGK, 2341).

Kita memohon kepada Tuhan yang senantiasa memperkuat kehendak kita agar mampu memurnikan hati kita dan supaya menjadi kuat menghadapi berbagai godaan ragawi.