Keutamaan Kristiani (10): Pengendalian-Diri

index

Keutamaan moral atau keutamaan manusiawi terakhir yang dibahas kali ini adalah pengendalian-diri. Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 1809 memosisikan pengendalian-diri sebagai keutamaan yang “menaklukkan” daya Tarik kenikmatan (pleasure) dan membantu manusia menyeimbangkan penggunaan barang-barang material. Menurut Catholic Encyclopedia, keutamaan pengendalian-diri berhubungan dengan kesulitan yang dihadapi manusia bukan sebagai makhluk rasional tetapi sebagai binatang. Mari kita ingat, bahwa manusia memiliki sisi rasional di mana kehidupannya dikendalikan oleh nalar. Tetapi manusia juga memiliki sisi non-rasional, di mana kehidupannya dikendalikan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kenikmatan badaniah. Santo Thomas Aquinas menyebutnya sebagai “disposisi pikiran yang mengendalikan dorongan nafsu” (Niemiec, R. M. (2013). VIA character strengths: Research and practice (The first 10 years). In H. H. Knoop & A. Delle Fave (Eds.), Well-being and cultures: Perspectives on positive psychology (pp. 11-30). New York: Springer).

Mengendalikan Hawa Nafsu

Barang-barang material yang kita gunakan menimbulkan kenikmatan tertentu. Itu yang menyebabkan kita selalu ingin menggunakannya. Kenikmatan ini semakin bertambah ketika pasar terus memromosikan barang-barang material sebagai hal yang harus dikejar dan diakumulasi jumlahnya. Dalam situasi demikian, kadang kita membiarkan hidup dikendalikan oleh hasrat, nafsu dan keinginan-keinginan yang tak-rasional. Karena dorongan nafsu, kita membeli barang dan jasa yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Tidak jarang kita juga menumpuk kekayaan, mengejar kemuliaan diri, dan sebagainya. Termasuk di dalam kenikmatan ragawi adalah nafsu dan keinginan seks, kerakusan akan makanan, dan seterusnya.

Harus diakui, kita tidak pernah bisa membebaskan diri dari godaan dan kenikmatan yang ditimbulkan barang-barang material ini. Menyadari hal ini, Gereja Katolik mengajarkan kita akan pentingnya memiliki keutamaan pengendalian-diri. Menghadapi berbagai godaan ini, orang yang memiliki keutamaan pengendalian-diri akan menyeimbangkan godaan kenikmatan demi mendatangkan suatu kebaikan. Keutamaan ini memampukan kita mengendalikan insting kita dan mengarahkan kita kepada hasrat untuk merealisasikan hal yang lebih terhormat. KGG artikel 1809 menegaskan bahwa orang Katolik dengan keutamaan pengendalian-diri akan mengarahkan dorongan-dorongan ragawinya ke arah upaya mencapai kebaikan yang menyelamatkan jiwanya. KGK artikel 1809 mengutip Kitab Sirakh, “Hati dan kekuatanmu jangan kau turutkan untuk berlaku sesuai dengan hawa nafsu hatimu” (Sir 5:2).

Tradisi moral Katolik mengajarkan bahwa godaan untuk menikmati barang-barang material dan nafsu ragawi berasal dari “gairah” (passion) dalam diri kita. Gairah atau hawa nafsu itu utamanya meliputi dorongan menikmati makanan (tamak), kemarahan (anger), dan birahi seks (lust). Inilah hawa nafsu paling hewani dalam diri setiap manusia yang harus dihadapi dengan keutamaan pengendalian-diri.

Memurnikan hati

Tahap paling dasar dalam perkembangan hidup rohani adalah tahap pertobatan (via purgative). Hawa nafsu yang disebutkan di atas sering menjadi penghalang pertumbuhan rohani karena mengaburkan hasrat dan dorongan jiwa untuk berelasi dengan Allah. Karena itu, sangatlah penting memulai perjalanan rohani di tahap ini dengan melatih dan membiasakan keutamaan pengendalian-diri dengan memurnikan hati. Hanya melalui hati yang murnilah kita dimampukan mengatasi berbagai godaan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa kita harus memulainya dengan pemurnian hati? Menurut Katekismus Gereja Katolik (KGK), hati perlu dimurnikan karena dari hatilah berasal segala pikiran dosa, pembunuhan, perzinahan, percabulan, dan semacamnya. Inilah godaan dan hawa nafsu ragawi yang bermula dari hati, dank arena itu, perlawanannya juga harus dimulai di hati (KGK 2517).

Katekismus Gereja Katolik (KGK) artikel 1809 mengutip Santo Agustinus untuk menegaskan pentingnya pemurnian hati sebagai jalan membentuk keutamaan pengendalian diri. “Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintai-Nya dengan cinta sempurna, yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian yang hanya mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan dikalahkan oleh kelicikan atau penipuan (inilah kebijaksanaan)” (Agustinus, mor. Eccl. 1,25,46).

Pemurniaan hati dilakukan sebagai upaya sadar kita untuk mengembalikan segala tindakan dan perilaku kita yang semula di bawah kekuasaan hawa nafsu kepada penguasaan oleh rasio (nalar). “Kebajikan kemurnian berada di bawah pengaruh kebajikan pokok penguasaan diri, supaya meresapi haws nafsu dan keinginan inderawi manusia dengan akal budi” (KGK, 2341).

Kita memohon kepada Tuhan yang senantiasa memperkuat kehendak kita agar mampu memurnikan hati kita dan supaya menjadi kuat menghadapi berbagai godaan ragawi.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.