Puasa Gawai

Gereja Katolik segera memasuki masa puasa 2019. Penerimaan abu di dahi pada tanggal 6 Maret 2019 menandai awal puasa Katolik. Sambil menandai dahi setiap umat dengan Salib Kristus, imam berkata, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.” Kadang-kadang imam juga menggantinya dengan seruan, “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Maka sejak perayaan Hari Rabu Abu di tanggal 6 Maret sampai hari Jumat Suci, 20 April 2019, seluruh umat Katolik yang memenuhi syarat Hukum Gereja diwajibkan menjalankan Pantang dan Puasa.

Peraturan Pantang dan Puasa

Keuskupan Agung Jakarta telah menerbitkan Peraturan Pantang dan Puasa 2019 dengan tema “Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat Bangsa Bermartabat”. Kitab Hukum Kanonik (KHK artikel 1249) menegaskan, “Semua orang beriman Kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari- hari tobat, di mana umat beriman Kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang…”

Sementara itu, mengacu ke Kitab Hukum Kanonik (KHK, artikel 1252), semua orang Katolik yang sudah berusia di atas 14 tahun diwajibkan berpantang. Dalam Peraturan Pantang dan Puasa 2019 KAJ itu dijelaskan bahwa “pantang” artinya “tiap keluarga atau kelompok atau perorangan memilih dan menentukan sendiri tindakan nyata apa yang hendak dipantang, misalnya pantang daging, pantang garam, pantang jajan, atau pantang rokok. Sementara itu, umat Katolik yang telah berumur 18 tahun sampai usia 60 tahun wajib berpuasa. Dalam Gereja Katolik, “puasa” artinya makan kenyang satu kali sehari.

Rabu Abu menandai dimulainya Prapaskah bagi orang Katolik. Ketika menerima abu, imam berkata, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.”

Spiritualitas Puasa

Makna pantang dan puasa sudah sangat jelas dinyatakan sejak hari Rabu Abu. Penandaan Salib di dahi menegaskan sifat manusia yang rapuh, lemah dan penuh dosa, yang berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Penegasan ini mengingatkan setiap umat untuk memperbarui hidup, menengok ke belakang untuk melihat berbagai kekurangan dan kelemahan, bertekad untuk memperbaiki diri selama masa Prapaskah, dan menjadi manusia baru supaya bisa bangkit dalam Paskah Kristus.

Maka Prapaskah selalu mengandung “pertobatan” dan “aksi nyata” menjadi manusia baru. Pantang dan puasa tanpa tindakan nyata perbaikan diri tidak memiliki makna apapun. Ketika dimintai pendapatnya mengenai Puasa Katolik, Sr. Marcellina, HK mengakui bahwa yang paling susah sebenarnya adalah pengendalian diri. “Dalam keseharian kita, di pekerjaan kita, tindakan atau perilaku yang tidak baik seharusnya dikurangi atau lebih baik lagi dihilangkan,” demikian Sr. Marcellina.

Tekad untuk memperbaiki diri itu tidak mudah. Tetapi kesetiaan menjalankan puasa itu sendiri sebenarnya bisa membantu memperkuat tekad ini sejauh puasa dijalankan dengan sungguh-sungguh. Ernest Agus, karyawan Sekretariat Gereja Tomang, Paroki MBK, tampak terinspirasi oleh cara Yesus berpuasa selama 40 hari. Bagi Agus, orang Katolik seharusnya menjalankan juga “puasa” benaran. Tentu tidak dalam arti literer, bahwa orang Katolik harus berpuasa selama 40 hari, sejak sebelum matahari terbit sampai berbuka setelah matahari terbenam. Puasa harus dihayati sebagai semacam “olah batin” dan “latihan diri” untuk memenangkan pertandingan melawan kelemahan diri supaya bisa menjadi manusia baru.

Sementara itu, orang muda Katolik seperti F.X Sandi dari Wilayah IV memaknakan puasa tidak semata-mata sebagai momen olah batin dan mati raga, tetapi juga kesempatan untuk bersyukur. Bagi pemuda berbadan besar ini, kesempatan bersyukur itu sebenarnya menyiratkan sikap umat untuk menyerahkan diri kepada Tuhan, bahwa segala yang terjadi dalam hidup itu berkat Penyelenggaraan Ilahi Tuhan. Karena itu, manusia tidak boleh jumawa.

Puasa Gawai

Ketika dimintai pendapatnya mengenai Puasa 2019 dan apa pesan khusus Romo Paroki kepada umat MBK, Romo Andreas Yudhi Wiyadi, OCarm menawarkan dua praktik pantang dan puasa yang bisa dijalankan, yakni puasa plastik dan puasa gawai.

Tentang puasa plastik, Romo Yudhi mengingatkan kembali akan pesan Surat Gembala Tahun Berhikmat 2019 yang dikeluarkan Uskup Agung Jakarta dan dibacakan di seluruh Gereja di KAJ pada Hari Raya Penampakan Tuhan, 6 Januari 2019. Romo Yudhi masih ingat benar ilustrasi yang disampaikan dalam Surat Gembala Tahun Berhikmat 2019 itu, ketika Mgr. Suharyo menyitir kembali sebuah berita di harian Kompas tentang seekor ikan paus yang terdampar di bagian timur Indonesia dalam kondisi membusuk dengan hampir enam kilogram plastik ditemukan dalam perut ikan raksasa itu.

Tawaran Romo Yudhi ini sejalan dengan desakan Gereja KAJ. Dalam Surat Uskup Agung Jakarta mengenai Peraturan Pantang dan Puasa 2019, Mgr. Suharyo menekankan pentingnya “…orientasi dan perilaku yang membuat kita semakin bersukur dan mewujudkannya dalam sikap peduli kepada sesama … mengusahakan suasana tobat dan penuh syukur.” Gereja KAJ secara khusus menegaskan gerakan pantang plastik dan styrofoam. Geraka ini mendesak untuk dilaksanakan, mengingat jumlah sampah plastik tahun 2018 masih sekitar 66,5 juta ton dan diperkirakan akan menjadi 71,3 juta ton di tahun 2025 (Kompas, 21/02/2019).

Romo Yudhi juga menawarkan pantang dan puasa gawai. Romo Yudhi bercerita, suatu ketika di akhir pekan, dia berkomunikasi dengan seorang rekan imam. Romo yang dihubungi itu lama tidak membalas pesan. Penasaran, Romo Yudhi pun bertanya mengapa sahabatnya itu tidak membalas pesan. “Saya sedang puasa gawai,” jawab imam itu. Romo Yudhi pun disadarkan soal pentingnya puasa gawai. “Kalau tidak hati-hati dalam penggunaannya, gawai telah menjadi berhala baru yang disembah,” tegas Romo Yudhi.

Penggunaan handphone berlebihan pada anak-anak sudah saatnya dibatasi atau dihentikan.

Ahli tumbuh kembang anak justru menyarankan agar anak-anak usia 3–6 tahun menggunakan gawai dengan pengawasan orang tua. Bahkan ada yang menyarankan agar anak-anak usia 12–18 tahun membatasi penggunaan gawai tidak lebih dari 2 jam sehari. Konon pendiri media sosial raksasa seperti Mark Zuckerberg dan Bill Gates melarang anak mereka menggunakan gawai sampai mereka berusia 13 tahun. Ini karena media sosial dan internet dapat memperburuk tumbuh kembang anak.  Sementara itu, mengingat lebih dari 800 ribu konten yang tersebar di Indonesia adalah berita bohong dan fitnah, orang dewasa pun seharusnya membatasi diri dalam menggunakan gawai. Ini belum termasuk memburuknya komunikasi suami istri karena akses berlebihan pada gawai.

Harapan Romo Yudhi, Sr. Marcellina, Sandi atau Ernest Agus, mewakili harapan kita semua. Puasa tahun 2019 harus menjadi momen emas untuk perubahan diri. Setiap orang yang wajib berpuasa dan berpantang seharusnya merencanakan jenis pantang dan puasanya, melewati momen emas itu dalam relasi yang intim dengan Tuhan, dalam tekad untuk mengubah perilaku yang kurang baik supaya menjadi lebih baik. Tawaran Romo Yudhi memberikan kita langkah konkret, betapa pantang dan puasa dapat menjadi momen pertumbuhan iman dan perkembangan manusiawi yang sangat berharga.

Dan itu sangat ditentukan oleh tekad setiap kita untuk memanfaatkan momen sakral itu secara baik, atau membiarkannya lewat begitu saja.

“Tanda Kesudahan Dunia”: Refleksi Atas Pesan Paus Fransiskus dalam Menyambut Masa Puasa 2018

pope 1
Paus Fransiskus dalam perayaan Hari Rabu Abu.

Hari ini, Rabu, 14 Februari 2018, umat Katolik seluruh dunia memulai masa puasa. Umat akan menandai dirinya dengan abu sebagai simbol untuk mengingatkan bahwa “manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah”. Itulah simbol pertobatan dan pembaruan diri, tanda yang mengingatkan setiap pengikut Kristus untuk senantiasa bertobat, membebaskan diri dari godaan dosa dan menjadi manusia baru supaya bisa dibangkitkan pada akhir zaman (“The Roman Missal [Third Typical Edition, Chapel Edition]”)

Hari Rabu Abu adalah hari pertama masa Puasa dalam Gereja Katolik Roma. Masa puasa sendiri akan berlangsung selama 46 hari (atau 40 hari jika masa puasanya dimulai terlambat sampai tanggal 10 Maret). Penginjil Matius, Markus, dan Lukas memberitakan bahwa Tuhan Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun di mana dia bertahan dari godaan setan. Sebagai informasi, Hari Rabu Abu dipraktikkan tidak hanya dalam Gereja Katolik Roma, tetapi juga gereja-gereja Anglikan, Lutheran, Methodis, Presbiterian, dan beberapa Gereja Baptis.

Seperti biasa, Paus mengeluarkan pesan-pesan dan ajaran kepada umat Katolik tentang pentingnya puasa dan bagaimana mempersiapkan diri selama masa puasa. Tahun lalu, misalnya, Paus Fransiskus menyerukan kepada umat Katolik untuk memiliki kerelaan hati menerima orang lain sebagai anugerah (gift). Selain itu, Fransiskus juga mengingatkan akan adanya ancaman dosa yang membutakan hati dan kehendak. Di akhir seruannya itu, Fransiskus menegaskan pentingnya Sabda Allah sebagai anugerah karena mampu menggerakkan hati untuk bertobat.

Rabu Abu 2018, Paus Fransiskus kembali mengeluarkan seruannya kepada umat Katolik yang akan memulai masa puasa hari ini. Seruan Fransiskus adalah refleksinya atas Injil Matius bab 24 ayat 12: “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.” Fransiskus kemudian mengajarkan tentang apa yang dia maksudkan dengan nabi palsu dan apa manifestasinya dalam kehidupan dunia dewasa ini. Lalu, dia juga menunjukkan secara deskriptif fenomena “hati yang menjadi dingin” dan apa penyebabnya. Di akhir seruannya itu, Paus Fransiskus mengajarkan tentang bagaimana harus menghidupi spiritualitas puasa 2018 supaya bisa mengalami perubahan hidup, terutama supaya bisa melampaui hati yang dingin dan membebaskan diri dari perangkap nabi palsu.

Nabi Palsu

Memang menarik memosisikan refleksi Paus Fransiskus atas Matius 24: 12 dalam keseluruhan perikop “Kotbah Tentang Akhir Zaman” (bab 24-25), atau jika Anda mau, bacalah saja seluruh perikop bab 24: 3-14. Mengambil setting di Bukit Zaitun di Yerusalem, Matius mengabarkan Yesus yang mengajarkan kepada para murid-Nya tentang awal penderitaan. Ini dilakukan Yesus sebagai respon terhadap pertanyaan para murid tentang perkataan Yesus, bahwa bait Allah akan runtuh, dan bahwa tidak ada satu batu pun yang akan dibiarkan terletak di atas batu yang lainnya (Mat 24: 1-2). Dengan kata lain, para murid “galau” tentang perkataan Yesus dan menanyakan soal kapan “ramalan” itu akan terjadi.

Dalam konteks inilah Yesus menyampaikan ajaran-Nya. Dan dalam konteks itu pula Paus Fransiskus menegaskan sekali lagi “bahaya nabi palsu”. Yesus sendiri, menurut Matius, menyerukan kepada murid-murid-Nya supaya berhati-hati terhadap nabi-nabi palsu. Setelah Yesus tidak ada lagi di dunia, akan datang orang-orang dan mengaku sebagai Yesus dan sebagai Mesias (Mat 24: 4-5). Nabi-nabi palsu itu akan menyebarkan ajaran mereka, berusaha meyakinkan orang banyak – termasuk orang Katolik – tentang kebenaran ajarannya. Tujuan utama mereka adalah membuat orang menjadi bingung dan tersesat (bdk Mat 24: 5, 11).

ash_wednesday_big
Abu mengingatkan kita akan kerapuhan dan keterbatasan kita. Sumber: https://www.calendar-12.com/holidays/ash_wednesday

Jika dikontekskan pada zaman sekarang, siapakah nabi palsu itu? Tentu kita tidak bisa serta merta menunjuk tangan pada orang dan/atau pelaku tertentu. Meskipun begitu, deskripsi Paus Fransiskus bisa memberi gambara mengenai itu. Nabi palsu menurut Paus Fransiskus itu mirip “para pawang ular” yang selalu memanipulasi perasaan manusia demi menjerat dan membawa manusia ke tujuan yang dia kehendaki. Seperti apa bentuk konkretnya? Nabi palsu menurut Fransiskus adalah berbagai bentuk manipulasi perasaan/emosi yang membuat manusia terjebak dalam kenikmatan sesaat dan menganggapnya sebagai kebahagiaan sejati. Itulah keadaan di mana manusia terpesona dan terperangkap dalam mimpi mengejar kekayaan dan membiarkan dirinya terjerat sepenuhnya dalam profit dan keuntungan. Ujung-ujungnya manusia tidak merasa bahagia tetapi justru mengalami kesepian yang menyiksa.

Bagi Paus Fransiskus, nabi palsu bisa muncul dalam diri para pembohong yang menawarkan solusi mudah dan cepat atas berbagai penderitaan manusia. Perhatikan berapa banyak orang muda yang terjebak dalam penyalahgunaan narkobi, yang membangun relasi dan persahabatan dengan dasar yang rapuh sehingga mudah sekali berakhir, relasi yang tidak jujur dan saling mengobjekkan. Juga betapa banyaknya orang yang terjebak dalam eksistensi palsu dan kegemerlapan dunia maya, mengejar hal-hal yang tidak bernilai, merebut dan menghancurkan martabat manusia, merampas kebebasan orang lain, menggadaikan kebebasannya sendiri dan melumpuhkan kemampuannya dalam mencintai.

Para nabi palsu selalu ada di mana pun dan senantiasa bersiap menyerang dan memenjarakan kita. Mereka selalu menampilkan hal-hal yang baik untuk menyembunyikan kejahatan dan dosa. Mereka juga meyakikan kita akan kebenaran-kebenaran tertentu yang sebenarnya salah. Mereka membutakan kita untuk melihat sesuatu secara lebih dalam, dan kita diyakinkan akan kebenaran-kebenaran palsu yang mereka wartakan.

Hati yang Dingin

Terperangkap dalam jerat nabi-nabi palsu hanya akan mengubah manusia menjadi pribadi-pribadi yang egois dan berhati dingin. Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan itu? Menurut Fransiskus, manusia berubah menjadi orang yang dingin hatinya artinya dia sedang kehilangan cinta dan kemurahan hati. Dia sedang mempertahankan segala kekayaan dan keuntungannya untuk dirinya sendiri. Seperti ditegaskan Paulus dalam Suratnya yang pertama kepada Timotius, memang benar bahwa uang telah menjadi sumber segala kejahatan (1Tim 6:10).

Hal yang dikhawatirkan Paus Fransiskus itu tidaklah salah. Dalam konteks kita, perilaku koruptif dengan mengambil uang yang bukan miliknya, menumpuk kekayaan untuk diri dan keluarga dan keengganan untuk berbagi dengan orang miskin telah menyebabkan penderitaan dan kemiskinan yang masif. Tidak hanya itu. Hati yang dingin juga telah membutakan manusia sehingga dia merampas dan merusak alam, menyebarkan kebencian dan permusuhan, mengusir orang-orang pergi dari tanah kelahirannya, membunuh kelompok yang tidak bersalah, dan sebagainya.

Menghidupi Spiritualitas Puasa

Paus Fransiskus menawarkan beberapa solusi untuk bisa keluar baik dari godaan nabi palsu maupun dari hati yang dingin. Pertama, Fransiskus menyerukan pentingnya selalu berdoa. Betul, bahwa berdoa adalah membangun komunikasi yang intens dan pribadi dengan Tuhan. Doa adalah momen di mana orang menyerahkan diri sepenuhnya pada kehadiran Allah. Doa tidak hanya membuat seseorang berkomunikasi dengan Allah dan mendengarkan sapaan-Nya, tetapi juga membuka keheningan dan kepekaan dalam dirinya supaya bisa membedakan manakah yang baik dan yang berkenan kepada Allah dan manakah yang menyesatkan. Doa mempertahankan hubungan manusia dengan Allah.

Kedua, mempraktikkan cinta kasih dan persembahan. Selama masa Puasa dan prapaskah 2018, Paus Fransiskus mengajak umat Katolik untuk sesering mungkin membantu orang lain, sesama saudara yang sedang membutuhkan. Paus mengingatkan kita bahwa apa yang kita miliki sekarang bukanlah milik kita secara eksklusif. Dia mengingatkan kita untuk mencontoh semangat hidup para rasul dan umat Kristen perdana yang selalu berbagi, yang meletakkan miliknya untuk dijadikan sebagai milik bersama.

Ketiga, Paus Fransiskus menyeruhkan pentingnya menjalankan puasa secara benar dan sepenuh hati. Menurut Beliau, puasa dapat memperlemah kecenderungan kita untuk bertindak kasar atau melakukan kekerasan. Puasa memberikan kita kesempatan untuk bertumbuh menjadi manusia yang utuh. Melalui puasa kita bisa mengalami bagaimana rasanya menjadi orang yang terbatas dan berkekurangan dan melatih daya tahan kita. Tetapi puasa juga membangkitkan hati dan roh kita, mengangkat kita ke hadirat Allah. Puasa membuat kita menjadi lebih peka terhadap kehadiran Allah dan kehadiran sesama kita.

Penutup

Hari ini kita akan menandai diri dengan abu di dahi. Kita bertekad untuk menyambut masa puasa ini dan menjalankannya dengan suka cita. Kita ingin bertumbuh menjadi manusia yang tidak lekas percaya pada berbagai tawaran nabi palsu. Relasi kita yang dekat dan personal dengan Yesus akan membantu kita menimbang dan menilai berbagai hal secara lebih Kristiani.

Puasa juga membantu kita untuk mengalahkan diri sendiri dan menjadi lebih mengasihi sesama. Puasa mengingatkan kita akan penderitaan ragawi, dan dengan itu, membuat kita menjadi lebih peka terhadap sesama dan terhadap alam. Puasa menggarisbawahi sekali lagi kerapuhan kita dan keterbukaan kita kepada Allah, karena kita memang terbatas. Kita memang berasal dari tanah alias rapuh dan terbatas, dan kepada tanah pula kita akan kembali.”

Selamat memasuki masa puasa!