Mengapa Perawan Maria menangis di La Salette?

Bunda Perawan Maria dari La Salette

Penampakan Bunda Maria dari La Salette menantang kita untuk melakukan praktik spiritual yang sering kita abaikan.

Pada tanggal 19 September 1846, Santa Perawan Maria menampakkan diri kepada dua anak di dekat desa kecil La Salette, Prancis. Ketika dalam sebagian besar penampakan di banyak daerah di seluruh dunia, Bunda Maria menampilkan dirinya tanpa banyak emosi, tidaklah demikian dengan penampakan di La Salette. Dalam penampakan kepada dua anak di desa itu, Bunda Perawan Maria tampak menangis. Mengapa Bunda Maria menangis?

Desa La Salette di tahun 1846 terdiri dari delapan atau sembilan dusun yang tersebar. Desa itu memiliki populasi sekitar 800. Penduduknya terutama para petani kecil dengan keluarga dan tanggungan mereka. Pada malam hari Sabtu, 19 September 1846, Maximin Giraud dan Mélanie Calvat (dipanggi dengan nama Mathieu kembali dari gunung tempat mereka memelihara sapi. Dalam perjalanan pulang itu mereka melihat “seorang wanita cantik” di Gunung Sous-Les Baisses, menangis dengan sedih.

Giraud dan Melanie menggambarkan Bunda Perawan Maria yang mereka lihat itu sebagai yang duduk dengan siku bertumpu pada lutut dengan wajahnya yang tersembunyi di balik tangannya. Bunda Perawan Maria tampak mengenakan jubah putih bertabur mutiara; dan celemek berwarna emas; sepatu putih dan mawar di sekitar kakinya dan hiasan kepala tinggi. Di lehernya ia mengenakan salib yang tergantung di rantai kecil.

Bunda Maria menampakkan diri kepada Maximin Giraud dan Mélanie Calvat .

Menurut kisah anak-anak itu, salah satu alasan utama di balik kesedihan Bunda Maria adalah karena masyarakat setempat tidak menghormati dan tidak mentaati hari Minggu sebagai hari Tuhan dan hari istirahat. Kepada kedua anak itu, Bunda Perawan Maria menyampaikan pesan berikut.

“Jika umatku tidak taat, aku akan harus terpaksa melepaskan lengan putraku. Lengannya begitu berat, begitu menekan, hingga aku tak lagi dapat menahannya. Berapa lama aku telah menderita demi kalian! Jika aku tidak menghendaki Putraku meninggalkan kalian, aku harus memohon dengan sangat kepada-Nya tanpa henti. Tetapi, kalian nyaris tidak mengindahkan hal ini. Tak peduli betapa baiknya kalian berdoa di masa mendatang, tak peduli betapa baiknya kalian berbuat, kalian tidak akan pernah dapat memberikan kepadaku ganti atas apa yang telah aku tanggung demi kalian.”

“Aku telah menetapkan enam hari  bagi kalian untuk bekerja. Hari ketujuh Aku peruntukkan bagi Diri-Ku sendiri. Namun, tak seorang pun memberikannya kepada-Ku. Inilah yang menyebabkan lengan Putraku berat menekan.”

“Hanya ada segelintir perempuan agak tua yang menghadiri Misa di musim panas. Umat yang lainnya bekerja setiap hari Minggu sepanjang musim panas.”

Dalam konteksnya, setelah Revolusi Perancis tahun 1789, berbagai upaya dilakukan untuk menghapuskan hari Minggu sebagai hari istirahat. Sementara hari Minggu dikembalikan lagi sebagai hari istirahat tahun 1814, pada tahun 1830 Prancis kembali dalam kerusuhan politik sehingga hari Minggu kembali tidak dihormati. Baru pada tahun 1904 hari Minggu menjadi hari istirahat yang wajib bagi semua pekerja. Pada saat penampakan di La Salette, sebagian besar buruh di Prancis tidak membuat perbedaan antara hari Minggu dan sisa minggu kerja.

Bekerja pada hari Minggu mungkin tampak seperti hal sepeleh yang bisa menjadi alasan mengapa Bunda Perawan Maria menangis. Tetapi Gereja Katolik sejak awal selalu berusaha untuk memberi penekanan pada pentingnya kebutuhan manusiawi kita untuk istirahat. Ini mencapai kedalaman keberadaan kita baik pada tingkat fisik dan spiritual. Dalam banyak hal kita diciptakan untuk hari Sabat.

Pada tahun 1998 St Yohanes Paulus II menulis di seluruh surat apostoliknya tentang “Hari Tuhan,” dan menantikan Milenium Ketiga, melihat ketaatan pada hari Minggu sebagai bagian penting bagi masa depan iman kita.

Dengan mengenal Gereja, yang setiap hari Minggu dengan penuh sukacita merayakan misteri yang darinya ia menghidupi dirinya, semoga pria dan wanita dari Milenium Ketiga semakin mengenal Kristus Yang Bangkit. Dan terus diperbarui dengan peringatan mingguan Paskah, semoga para murid Kristus menjadi semakin kredibel dalam memberitakan Injil keselamatan dan semakin efektif dalam membangun peradaban cinta.

Jika kita ingin menghibur Perawan yang sedih dan mengeringkan air matanya, kita perlu memeriksa hidup kita sendiri dan memeriksa diri soal bagaimana kita merayakan hari Sabat. Apakah hari Sabat benar-benar kita jadikan sebagai hari istirahat? Ini tidak hanya berarti ketiadaan tenaga kerja, tetapi yang terpenting, meninggalkan ruang yang pantas untuk ibadat spiritual dan kegiatan yang memberi kehidupan baru bagi tubuh dan jiwa kita.

Di zaman ketika kecemasan dan depresi telah menjadi penyakit yang lumrah, mengapa kita tidak mengambil nasihat dan istirahat dari Tuhan? Bukankah seharusnya itu mudah untuk kita lakukan?

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.