Spiritualitas Pelayanan DPH: Belajar dari Filosofi “Rumah”

Romo Budiono O.Carm sedang membawakan materi rekoleksi.

Siapa pun anggota Dewan Paroki Harian (DPH), ketika ditanya mengapa bersedia menjadi anggota dewan, jawaban yang diterima sudah bisa dipastikan. “Karena diminta Romo Paroki.” “Saya sebenarnya tidak mau, tetapi ditelpon Romo Paroki.” “Saya bahkan belum mengerti mengapa saya yang dipilih.” Dan banyak alasan lainnya.

Tetapi ketika sudah menjadi anggota dewan, orang dituntut untuk semakin mengenali kehendak Allah dalam karya pelayanannya. “apa yang Allah ingin aku lakukan?” harus pertanyaan kunci yang selalu dijawab. Dan itu menyangkut bagaimana seorang anggota DPH memurnikan motivasi demi menemukan kehendak Allah di dalam pelayanannya.

Peserta yang adalah anggota DPH Paroki Tomang, 2018-2021.

Selama dua hari, tepatnya tanggal 4-5 Mei 2019, bertempat di Villa Deo Gratia Lembang (Jawa Barat), seluruh anggota DPH Paroki MBK merenungkan makna panggilan mereka sebagai anggota dewan. Dipandu oleh Romo Ignasius Budiono, O.Carm, rekoleksi dua hari itu sungguh menjadi pengalaman iman dan formatif yang mengubah cara pandang anggota dewan mengenai pelayanan mereka. Dua hari itu juga menjadi momen rahmat untuk saling meneguhkan, bahwa Allah yang pertama-tama menghendaki mereka menjadi anggota dewan. Karena itu, mereka harus saling menerima dan meneguhkan sebagai saudara.

Gereja adalah Ibu Kita

Refleksi yang dibawakan Romo Budiono di hari pertama difokuskan pada upaya menemukan makna panggilan menjadi anggota DPH. Melayani gereja dan umat Allah dapat dirujuk sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa menjadi anggota DPH. Jawaban ini dielaborasi secara sangat menarik oleh Romo Budiono dalam pemaparannya di hari pertama.

Peserta yang adalah anggota DPH Paroki Tomang, 2018-2021.

Romo Budiono pertama-tama menarik perhatian kepada sebuah ungkapan iman 49 martir di Abitinae di tahun 304 yang menjadi korban kekejaman Kaisar Diokletianus. Pada waktu itu kaisar melarang orang Kristen berkumpul dan beribadah, dan itu tidak diindahkan oleh para martir tersebut. Dimotori oleh seorang imam bernama Saturninus, orang Kristen mengatakan tanpa rasa takut, bahwa mereka tidak mungkin tidak merayakan Ekaristi. “Sine domico non possumus” yang artinya “tanpa Gereja atau tanpa hari Tuhan, kami tidak bisa.” Pengakuan itu tidak menimbulkan rasa gentar dalam diri mereka, bahkan ketika mereka harus dihukum mati oleh penguasa yang lalim.

Kisah ini menjadi pembuka bagi Romo Budiono untuk menegaskan mengapa anggota DPH harus melayani gereja. Itu tidak lain karena gereja adalah ibu. Gambaran gereja sebagai ibu dirumuskan secara sangat menarik oleh Paus Fransiskus, dan itu menggambarkan sebuah komunitas, sebuah kelompok persekutuan umat Allah yang terus melayani Tuhan tanpa rasa takut, karena Tuhan dan gereja-Nya telah lebih dahulu mengasihi.

Gereja sebagai ibu telah memberikan segala hal yang dibutuhkan umat-Nya. Sejak dilahirkan, kita disambut dalam gereja dan dimeteraikan sebagai anak Allah melalui pembaptisan. Melalui sakramen Ekaristi, kita telah diberi makanan rohani. Kita didampingi menjadi orang yang dewasa dan diberi kekuatan melalui sakramen krisma. Ketika kita sebagai orang berdosa, gereja menyambut kita kembali melalui sakramen Pengampunan. Gereja menjadikan kita sebagai alatnya untuk menghadirkan manusia baru melalui sakramen Perkawinan. Dan menjelang ajal menjemput, gereja mendampingi kita melalui sakramen Perminyakan.

Romo Budiono menegaskan bahwa inilah alasan mengapa anggota DPH mau melayani gereja dan Tuhan. Bagi Romo Budiono, hal-hal ini hanya bisa terealisasi jika dua hal terpenuhi. Pertama, kita memiki iman yang teguh. Iman jenis ini tidak didapatkan dari bangku sekolah. Pendidikan tinggi tidak menjadi jaminan seorang memiliki iman yang teguh pada Tuhan dan gereja-Nya. Ketika mencontohkan cinta yang tulus dari ayahnya sendiri kepada gereja dengan tak kenal lelah mengajarkan agama kepada para calon baptis di desa-desa sekitar, Romo Budi menyadari bahwa iman bertumbuh dari hal-hal yang sederhana. Iman berpijak pada pengalaman sederhana dan pengalaman keterbukaan pada kasih Allah yang menyapa.

Peserta yang adalah anggota DPH Paroki Tomang, 2018-2021.

Kedua, relasi yang positif dengan ibu, orang tua, saudara-saudara dan orang-orang sekitar. Pengalaman terluka, kecewa, kehilangan kepercayaan dapat membuat orang mengingkari kasih Tuhan dan kehadiran gereja. Pengalaman itu bahkan mendorong dunia modern menolak kehadiran gereja. Tetapi Romo Budiono mengingatkan, bahwa seorang ibu adalah manusia yang tidak sempurna. Sama halnya juga dengan gereja yang adalah tidak sempurna karena terdiri dari manusia. Meskipun gereja penuh dosa dan kadang mengecewakan, cinta kepadanya tidak akan pernah berkesudahan, sama seperti cinta kita kepada ibu yang juga kekal

Semangat dan spiritualitas seperti inilah yang diharapkan dimiliki anggota DPH Paroki Tomang. Bahwa para anggota dewan memiliki iman yang tulus kepada Tuhan dan gereja-Nya sebagai ibu yang tidak pernah berhenti mengasihi anak-anaknya. Kesediaan menjadi anggota dewan adalah kesempatan untuk membalas cinta kasih Tuhan itu – melalui melayani gereja dan jemaat Allah.

Belajar dari Filosofi “Rumah”

Anggota DPH berasal dari latar belakang yang berbeda. Tidak mudah menyatuhkan perbedaan-perbedaan tersebut, tetapi itu bukan tidak mungkin. Panggilan menjadi pelayan Tuhan dan Gereja-Nya justru menjadi dasar bagi penyatuan itu. Usaha penyatuan harus terus dilakukan. Romo Budiono menawarkan menafsirkan makna “rumah” secara sangat menarik sebagai pemicu untuk mengusahakan kesatuan komunitas DPH.

Peserta yang adalah anggota DPH Paroki Tomang, 2018-2021.

Lebih lanjut Romo Budiono menawarkan empat elemen rumah yang pantas direnungkan, yakini lantai, dinding, atap, dan pintu. Keempat elemen rumah ini dapat membantu mewujudkan atau sekurang-kurangnya memberi inspirasi bagi usaha membangun persaudaraan anggota DPH.

Tentang lantai, Romo Budiono menekankan pentingnya anggota DPH memiliki rasa saling percaya satu sama lain, selain juga kesediaan untuk diinjak-injak dan menjadi landasan yang kokoh. Syarat untuk menjadi landasan yang kokoh adalah rasa percaya. Maka, seorang anggota DPH harus memastikan, apakah dirinya pantas dipercaya atau tidak? Apakah ada rasa saling percaya di antara anggota komunitas DPH? Atau, jangan-jangan anggota DPH memikirkan diri dan agendanya sendiri-sendiri?

Tanda dari rasa saling percaya adalah ketika seseorang dapat diandalkan dan ketika seseorang mampu menyimpan rahasia. Apakah anggota DPH dapat diandalkan dan dapat menjaga rahasia satu sama lain, atau malah membeberkan rahasia dan kelemahan rekan-rekannya, dan dengan demikian menghancurkan paguyuban itu sendiri.

Tentang dinding, Romo Budiono menekankan pentingnya penerimaan, pentingnya memberi tempat dan pengalaman diinginkan di dalam komunitas. Seperti halnya dinding rumah, setiap anggota DPH harus merasa dibutuhkan, meresa diterima, merasa ada ruang bagi dirinya. Setiap anggota DPH perlu merasa dicintai dan didengarkan, merasa kehadiran anggota DPH lainnya sebagai saudara dalam satu kamar dengan dinding-dinding yang melindungi mereka. Dinding-dinding itu adalah ruang tempat orang merasa nyaman, tempat orang mau membuka diri dan membagi segala rasa khawatirnya, bahkan berbagai ketakutan dan rahasia yang membelenggu dirinya.

Tentang atap, Romo Budiono menekankan aspek perlindungan. Bahwa anggota DPH harus mampu membangun persaudaraan dan menjadi pelindung bagi saudaranya. Komunitas DPH harus menjadi ruang orang mengalami kehangatan, mengalami peneguhan, dan menimba kekuatan. Seperti atap yang melindungi penghuni rumah dari panas, dingin, dan hujan, anggota DPH juga harus memberi perlindungan dan menjamin anggota lainnya merasa krasan atau betah. Di bawah atap yang satu dan sama, anggota DPH harus saling tolong-menolong dan meneguhkan supaya tidak ada yang putus asa dan mengundurkan diri.

Tentang pintu, Romo Budiono tampak menekankan aspek kebebasan. Sebagaimana pintu rumah menjadi tempat orang bisa masuk dan bisa keluar, komunitas DPH pun seharusnya demikian. Setiap anggota DPH harus merasa menjadi anggota bukanlah sebuah pemaksaan. Lebih dari itu, setiap anggota DPH juga harus memiliki rasa saling percaya, supaya  aktivitas keluar masuk melalui pintu itu tidak menjadi sebuah praktik kebebasan liar, juga bukan sebuah pengekangan.

Peserta yang adalah anggota DPH Paroki Tomang, 2018-2021.

Analogi pintu juga menegaskan pentingnya tanggung jawab. Romo Budiono mencontohkan, kalau pun orang bebas keluar masuk melalui pintu, jadi misalnya orang tidak hadir dalam rapat DPH, sebagai pribadi yang bertanggung jawab, seharusnya menginformasikan kepada anggota komunitas lainnya. Gambarannya persis sama dengan di rumah, ketika anggota keluarga lainnya tahu di mana anggota lainnya berada, dan sebagainya. Rekoleksi dua hari itu dikemas secara menarik berkat kerja keras panitia, dimotori oleh Rudy Kurniawan dan kawan-kawan. Rekoleksi dua hari itu sungguh sebuah pengalaman iman dan formasi yang menguatkan anggota DPH.[Laporan Yeremias Jena]

Tujuh Watak Pelayan Tuhan Tersemai di Wisma Cengkih

Peserta Rekoleksi Pilar Pewartaan di acara pembukaan, 23 Maret 2019. Foto: Yeremias Jena.

MINGGU ketiga di bulan ketiga tahun 2019. Pagi-pagi benar puluhan pelayan Gereja Paroki Tomang Gereja Maria Bunda Karmel yang tergabung dalam Pilar Pelayanan bergerak perlahan menuju Wisma Cengkih di daerah Sukabumi. Dua bis tentara mengangkut hampir seratus pelayan Gereja MBK ke “daerah yang sunyi”. Mereka sepertinya mengerti betul kata-kata Yesus kepada para murid-Nya setelah lama berkeliling dan melayani umat. “Mari kita pergi ke tempat yang sunyi supaya kita sendirian, beristirahat dan berdoa” (bdk Mrk 6:31). Dimotori Romo Andreas Yudhi Wiyadi, OCarm dan DPH Pendamping, para pelayan Tuhan itu memilih menjauh dari hiruk pikuk Jakarta. Selama dua hari (23-24 Maret 2019), mereka tenggelam dalam rekreasi dan refleksi.

Rekoleksi dengan tema “Aku Melayani Tuhan: Belajar dari Spiritualitas Salib” ini direncanakan sangat baik oleh Pilar Pelayanan bekerja sama dengan Seksi Pelatihan dan Kaderisasi (Pekad), OMK Wilayah IX serta dukungan Music Ministry.

Romo dalam sambutan pembukaannya menawarkan dinamika acara yang lebih santai dan menghibur. Ini dimaksud agar peserta tidak terjebak dalam rutinitas rekoleksi yang kering dan membosankan, tetapi berusaha merenungkan dan menemukan kehendak Tuhan dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan menghibur.

Mengandalkan Hanya Tuhan

Menyadari pentingnya relasi personal dengan Tuhan, Romo Yudhi mengingatkan peserta rekoleksi mengurangi akses pada media sosial dan gawai. Ini adalah bagian dari “latihan rohani” melepaskan diri dari berbagai perhatian dan kesibukan pelayanan rutin demi menemukan rencana dan kehendak Allah dalam diri masing-masing. Jika Allah menghendaki setiap anggota Pilar Pelayanan melayani Tuhan, bagaiama panggilan ini direalisasikan? Romo Yudhi mengajak peserta untuk menyadari kehadiran Tuhan dan membiarkan Roh bekerja di dalam hati. Lagu “Utuslah RohMu ya Tuhan, dan jadi baru seluruh muka bumi” yang dilantunkan di awal kegiatan mengingatkan peserta untuk membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus selama rekoleksi itu.

Tema spiritualitas salib yang ditawarkan Romo Yudhi dalam sesi pagi di hari pertama dirancang secara menarik. Alih-alih berbicara sendiri dan searah, Romo Yudhi memberikan kesempatan kepada peserta untuk memaknakan spiritualitas pelayanan yang selama ini dijalani dan membagikannya kepada peserta lainnya.

Ibu Fifi Suryantini, peserta rekoleksi dari Seksi PSE sedang memberi kesaksian. Foto: YJ

Ibu Fifi Suryantini, peserta dari Seksi PSE, mengatakan dalam kesaksiannya tentang pentingnya mengenakan kacamata dan cara pandang Yesus ketika melayani sesama. Fifi tidak menampik, bahwa karena Seksi PSE melayani kelompok umat yang kurang beruntung secara ekonomi, kadang memahami orang yang dilayani berdasarkan persepsi subjektif. Fifi bahkan berkisah tentang pengalaman melayani keluarga yang secara penampilan tampak berkecukupan, padahal kehidupan real mereka sebenarnya memprihatinkan. Kata Fifi, kalau kita berpatokan pada persepsi kita sendiri mengenai orang yang dilayani, bisa jadi kita tidak melayani dengan baik. “Kadang-kadang kita itu punya persepsi tertentu dulu hanya dari lihat luarnya, mungkin dari sikapnya atau bagaimana. Tapi ketika kita kunjungan, kita lebih tahu bagaimana keadaan suami istri sebenarnya,” demikian pengakuan Bu Fifi.

Dr. Yanto Tjahyono dari Seksi Kesehatan sedang memberi kesaksian. Foto: Yeremias Jena

Hal yang sama juga diakui Dokter Yanto Tjahyono. Semula dr. Yanto mengira pengobatan orang sakit itu sekadar perkara mendiagnosa penyakit dan memberikan obat sesuai indikasi medis. Padahal dalam pengalamannya dia melihat bahwa pelayanan kesehatan itu lebih dari persoalan obat. Dokter Yanto semakin menyadari bahwa penyembuhan dari penyakit adalah membiarkan Allah berkarya di dalam pelayanan itu. Dan itu tampak dari pengalamannya  yang “berhasil” menyembuhkan seorang pasien dari rasa marah dan jengkel seorang ayah terhadap anak-anaknya yang meninggalkan dirinya. Bagi dr. Yanto, melayani Tuhan adalah penyerahan diri, membiarkan diri dipimpin oleh Allah, tidak mengandalkan pengertiannya sendiri tetapi percaya pada Allah dengan segenap hati (bdk Amsal 3:5).

Tuhan yang Mau

Menjadi pelayan Tuhan dalam pelayanan Gereja bukanlah pilihan pribadi. Romo Yudhi mengingatkan peserta rekoleksi, bahwa pelayanan gerejani tidak bersifat transaksional. Karena pelayanan yang bersumber pada rencana dan panggilan Allah sendiri, setiap pelayan Tuhan tidak akan memegahkan dirinya. Dia melayani tidak demi mencapai kemuliaan dan ketenaran diri. Romo Yudhi menekankan pentingnya memurnikan motivasi panggilan dalam pelayanan. “Kita melayani bukan demi gengsi, tidak demi pujian,” demikian Romo Yudhi.

Ibu Lies Setiawati, Ketua Seksi PSE sedang memberi kesaksian. Foto: Yeremias Jena

Pelayanan sebagai menjalankan kehendak Tuhan yang memanggil ini nampak jelas dalam sharing Ibu Lies Setiawati, Ketua Seksi PSE Paroki MBK. Ibu Lies menghayati keterlibatannya dalam Komunitas Emmaus Journey (EJ) sebagai pengalaman Allah menyapa dan memanggil untuk melayani GerejaNya secara lebih serius. Bagi Lies, terpapar dengan Kitab Suci dalam Komunitas EJ membuat dia menyadari pentingnya meninggalkan cara hidup duniawi yang sebelumnya dia jalani. “Tuhan mempunyai jalan yang indah, memanggil saya dengan jalan yang lain. Setelah semakin dekat dengan Kitab Suci, saya baru tahu kalau apa yang saya lakukan selama ini tidak ada apa-apanya,” demikian kesaksian Ibu Lies.

Ibu Paulina Dinartisti dari Seksi Pasdior sedang bersaksi. Foto: YJ.

Sementara itu, Ibu Paulina Dinartisti memaknakan keterlibatannya dalam pelayanan Paduan Suara, Dirigen, dan Organis (Pasdior) sebagai melaksanakan kehendak Allah. Meskipun pernah pernah bosan dan berhenti bernyanyi untuk Gereja, Tuhan justru menginginkannya kembali. Pengalaman menyanyikan Kisah Sengsara Tuhan Yesus ketika kembali bernyanyi bagi Gereja membuatnya yakin, bahwa Allah memang menghendaki dirinya melayani di Pasdior. Ibu Dinar menghayati secara personal kata-kata Yesus kepada muridNya di bawah salib berdiri di dekat Bunda Maria: “Ini ibumu”. “Saya menyanyikan kata-kata itu sambil menangis. Saya merasakan betul bahwa Tuhan berkarya di dalam diri saya melalui Pasdior,” demikian pengakuan Bu Dinar.

Spiritualitas Salib

Romo Yudhi meneguhkan iman para peserta dengan menawarkan refleksi tujuh kata terakhir Tuhan Yesus sebelum wafat. Dari refleksi itu Romo Yudhi menegaskan sekurang-kurangnya tujuh karakter utama pelayan Tuhan.

Romo Andreas Yudhi Wiyadi, O.Carm, pastor Paroki Tomang, Gereja Maria Bunda Karmel. Foto: Yeremias Jena

Pertama, seorang pelayan adalah seorang pengampun, bukan pendendam. Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan ini, “Ya Bapa ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Bagi Romo Yudhi, seorang pelayan Tuhan seharusnya lembut terhadap orang lain dan keras terhadap diri sendiri, dan bukan sebaliknya.

Kedua, seorang pelayan Tuhan senantiasa menyadari diri sebagai seorang pendosa (Luk 23:43). Seperti nampak dalam kesaksian Bu Fifi, dr. Yanto, Bu Lies dan Bu Dinar, kesadaran akan kedosaan membuat pelayan Tuhan menjadi rendah hati dan mengakui pelayanannya sebagai melaksanakan kehendak Allah dan bukan kehendaknya sendiri.

Ketiga, pelayan Tuhan seharusnya memiliki sikap iklas dan memercayakan diri pada penyelenggaraan Ilahi. Keikhlasan itu nampak dalam keterbukaan menerima ibu Tuhan dalam hidup kita, sama seperti ibu Tuhan juga menerima kita dalam penyelengaraannya (Yoh 19:26).

Keempat, pelayan Tuhan harus siap dan terbuka pada pengalaman desolasi, pengalaman kekeringan dan merasa seperti jauh dari Tuhan. Justru pengalaman padang gurun inilah yang memurnikan motivasi pelayanan kita (Mrk 15:34).

Kelima, menjadi pelayan Tuhan, apalagi dalam pilar pelayanan, adalah panggilan untuk memerhatikan orang kecil dan terpinggirkan. Pelayan Tuhan harus bersedia memberi orang lain makan dan minum (Yoh 19:28).

Keenam, pelayan Tuhan harus sanggup melihat dan merefleksikan berbagai seluruh aktivitas pelayanannya sebagai penggenapan dan pemenuhan rencana Allah. Di situlah pelayan Tuhan berani mengatakan, “Sudah selesai” (Yoh 19:30).

Ketujuh, pelayan Tuhan harus sanggup menyerahkan seluruh karya dan pelayanannya kepada Tuhan, harus sanggup juga menyerahkan diri dan hidupnya ketika segalanya sudah selesai dilakukan. Pelayan Tuhan berani mengatakan, “Ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaku” (Luk 23:46).

Sambutan Positif

Acara rekoleksi dua hari ini sangat bermakna dan menghibur. Beberapa peserta yang dimintai pendapatnya, mengaku sangat senang dengan acara rohani semacam ini. Mereka bahkan mengharapkan rekoleksi lanjutan setelah ini.

Agustina dari Seksi PSE, salah satu peserta rekoleksi, merasa senang bisa ikut rekoleksi ini dan bisa berkenalan dengan para pewarta lainnya. Foto: Yeremias Jena

Secara pribadi, Agustina dari Seksi PSE sangat menyukai penjelasan Romo Yudhi. Ibu dua anak itu mengakui bahwa rekoleksi ini tidak hanya membuat dia mengenal banyak pelayan lainnya, tetapi juga belajar untuk menjadi rendah hati. “Saya berharap untuk mengenal lebih baik lagi para pelayan lainnya. Saya juga berharap untuk terus berkarya melayani Tuhan dan gerejaNya,” harap Agustina.

Sambutan dan kesan positif ini tidak terlepas dari kepiawaian Frans Budi merancang dan membawakan acara capacity building di hari kedua. Beberapa kegiatan seperti mengover dan menangkap bola pimpong, menyusun mur secara berkelompok, dan aktivitas ragawi lainnya membantu membangun kekompakan dalam pelayanan gerejawi. Pilihan lagu dan gerakan ritmik anggota tubuh mengikuti irama musik yang dirancang music ministry ikut menciptakan kenangan positif rekoleksi.

Peserta rekoleksi antusias dalam mengikuti berbagai kegiatan capacity building. Foto: Ferry Gesang.

Tidak dilupakan juga sesi saling meneguhkan antarpelayan dengan membisikan aspek positif dari rekan setim pelayanan. Bagian terakhir ini menimbulkan kesan mendalam dan personal dalam diri para pelayan.

Rekoleksi telah usai. Ajakan Yesus kepada para pelayanNya untuk beranjak ke tempat yang lebih sepi supaya bisa berdoa dan beristirahat sudah berakhir. Dengan energi yang baru, para pelayan Tuhan telah kembali ke tengah umat. Mereka siap melayani secara lebih mendalam dan berkualitas. Segalanya demi kemuliaan namaNya semata. (Laporan: Yeremias Jena)

Antara Mengajar, Mendidik dan Memberi Teladan

Rekoleksi Batuta-3

Hari Minggu, 25/02/2018 boleh jadi merupakan hari spesial bagiku. Pasalnya, pertama kali dalam pengalaman sebagai seorang Katekis, mengikutkan istri dan anak dalam pengajaran. Adalah kegiatan mempersiapkan orangtua calon baptis batuta dan saya mendapat giliran menjadi nara sumber. Nama keren acara itu adalah rekoleksi orangtua calon baptis batuta.

Kami para narasumber di Dekanat Barat 2 saling bertukar tempat merasul. Dan kali ini giliran saya menjadi nara sumber dan pendamping di Paroki Maria Kusuma Karel (MKK) di Meruya, Jakarta Barat.

Saya mengajak istri dan putriku untuk ikut serta. Semula saya pikir kami bisa mengalami pengalaman merayakan ekaristi secara berbeda di paroki yang berbeda, dan karena itu, keluarga saya ajak serta. Dan memang kami mengalami hal yang berbeda, juga sukacita yang berbeda. Gereja Paroki MKK cukup hommy dan terkesan ramah pada umat. Juga beberapa ekspresi ritual yang berbeda dengan paroki kami.

Rekoleksi-1-1

Tetapi yang terpenting — dan itu saya sadari sembari memberikan pembekalan — adalah nilai positif kehadiran keluarga. Karena berbicara mengenai pentingnya pendidikan Katolik bagi anak-anak sejak usia dini dan penekanan pada peran orangtua sebagai pendidik utama, saya beberapa kali “terpaksa” merujuk ke best practices yang pernah kami lakukan di rumah. Nah, kehadiran keluarga (istri dan anak) justru dapat menjadi hal positif dalam hal sharing seperti itu. Bahwa hal positif yang pernah dan sedang kami praktikkan di rumah ternyata dapat menjadi sharing pengalaman yang meneguhkan sesama umat beriman.

Dalam pembekalan ini saya sungguh belajar, bahwa pada akhirnya bukan banyaknya ilmu yang saya berikan, tetapi soal kedalaman pengalaman hidup. Bahwa apa yang saya katakan seharusnya merupakan ekspresi atau ungkapan dari apa yang saya dan keluarga hidupi. Kehadiran istri dan anak menjadi sebuah pengujian, apakah yang saya katakan itu sungguh-sungguh merupakan nilai positif yang kami hidupi di rumah, atau sekadar lip service alias omong kosong semata.

Rekoleksi-2-1.jpg

Dalam obrolan selama pulang ke rumah dan juga di rumah, saya melihat ada keceriaan dalam diri istri dan anakku. Mereka tidak mengeluh, juga tidak memprotes apa yang telah aku sharingkan di gereja ke para orangtua yang anaknya akan dibaptis. Itu menjadi sebuah peneguhan, bahwa apa yang saya sharingkan memang merupakan nilai-nilai yang juga kami hidupi di rumah.

Rekoleksi-3-1.jpg

Itulah makna sesungguhnya dari pentingnya memberi teladan hidup. Saya mungkin memiliki kemampuan mengajar dan berbagi ilmu. Tetapi ilmu dan informasi yang saya bagikan itu tidak akan menimbulkan efek pengubah kehidupan jika itu semua hanya keluar dari mulut dan lidah saya. Dan ini akan selalu menjadi dorongan untuk terus merasul sebagai cara untuk meneguhkan hidup, baik bagi diri sendiri dan keluarga maupun bagi sesama umat beriman.

Terima kasih Tuhan atas kesempatan ini.