Siapa pun anggota Dewan Paroki Harian (DPH), ketika ditanya mengapa bersedia menjadi anggota dewan, jawaban yang diterima sudah bisa dipastikan. “Karena diminta Romo Paroki.” “Saya sebenarnya tidak mau, tetapi ditelpon Romo Paroki.” “Saya bahkan belum mengerti mengapa saya yang dipilih.” Dan banyak alasan lainnya.
Tetapi ketika sudah menjadi anggota dewan, orang dituntut untuk semakin mengenali kehendak Allah dalam karya pelayanannya. “apa yang Allah ingin aku lakukan?” harus pertanyaan kunci yang selalu dijawab. Dan itu menyangkut bagaimana seorang anggota DPH memurnikan motivasi demi menemukan kehendak Allah di dalam pelayanannya.
Selama dua hari, tepatnya tanggal 4-5 Mei 2019, bertempat di Villa Deo Gratia Lembang (Jawa Barat), seluruh anggota DPH Paroki MBK merenungkan makna panggilan mereka sebagai anggota dewan. Dipandu oleh Romo Ignasius Budiono, O.Carm, rekoleksi dua hari itu sungguh menjadi pengalaman iman dan formatif yang mengubah cara pandang anggota dewan mengenai pelayanan mereka. Dua hari itu juga menjadi momen rahmat untuk saling meneguhkan, bahwa Allah yang pertama-tama menghendaki mereka menjadi anggota dewan. Karena itu, mereka harus saling menerima dan meneguhkan sebagai saudara.
Gereja adalah Ibu Kita
Refleksi yang dibawakan Romo Budiono di hari pertama difokuskan pada upaya menemukan makna panggilan menjadi anggota DPH. Melayani gereja dan umat Allah dapat dirujuk sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa menjadi anggota DPH. Jawaban ini dielaborasi secara sangat menarik oleh Romo Budiono dalam pemaparannya di hari pertama.
Romo Budiono pertama-tama menarik perhatian kepada sebuah ungkapan iman 49 martir di Abitinae di tahun 304 yang menjadi korban kekejaman Kaisar Diokletianus. Pada waktu itu kaisar melarang orang Kristen berkumpul dan beribadah, dan itu tidak diindahkan oleh para martir tersebut. Dimotori oleh seorang imam bernama Saturninus, orang Kristen mengatakan tanpa rasa takut, bahwa mereka tidak mungkin tidak merayakan Ekaristi. “Sine domico non possumus” yang artinya “tanpa Gereja atau tanpa hari Tuhan, kami tidak bisa.” Pengakuan itu tidak menimbulkan rasa gentar dalam diri mereka, bahkan ketika mereka harus dihukum mati oleh penguasa yang lalim.
Kisah ini menjadi pembuka bagi Romo Budiono untuk menegaskan mengapa anggota DPH harus melayani gereja. Itu tidak lain karena gereja adalah ibu. Gambaran gereja sebagai ibu dirumuskan secara sangat menarik oleh Paus Fransiskus, dan itu menggambarkan sebuah komunitas, sebuah kelompok persekutuan umat Allah yang terus melayani Tuhan tanpa rasa takut, karena Tuhan dan gereja-Nya telah lebih dahulu mengasihi.
Gereja sebagai ibu telah memberikan segala hal yang dibutuhkan umat-Nya. Sejak dilahirkan, kita disambut dalam gereja dan dimeteraikan sebagai anak Allah melalui pembaptisan. Melalui sakramen Ekaristi, kita telah diberi makanan rohani. Kita didampingi menjadi orang yang dewasa dan diberi kekuatan melalui sakramen krisma. Ketika kita sebagai orang berdosa, gereja menyambut kita kembali melalui sakramen Pengampunan. Gereja menjadikan kita sebagai alatnya untuk menghadirkan manusia baru melalui sakramen Perkawinan. Dan menjelang ajal menjemput, gereja mendampingi kita melalui sakramen Perminyakan.
Romo Budiono menegaskan bahwa inilah alasan mengapa anggota DPH mau melayani gereja dan Tuhan. Bagi Romo Budiono, hal-hal ini hanya bisa terealisasi jika dua hal terpenuhi. Pertama, kita memiki iman yang teguh. Iman jenis ini tidak didapatkan dari bangku sekolah. Pendidikan tinggi tidak menjadi jaminan seorang memiliki iman yang teguh pada Tuhan dan gereja-Nya. Ketika mencontohkan cinta yang tulus dari ayahnya sendiri kepada gereja dengan tak kenal lelah mengajarkan agama kepada para calon baptis di desa-desa sekitar, Romo Budi menyadari bahwa iman bertumbuh dari hal-hal yang sederhana. Iman berpijak pada pengalaman sederhana dan pengalaman keterbukaan pada kasih Allah yang menyapa.
Kedua, relasi yang positif dengan ibu, orang tua, saudara-saudara dan orang-orang sekitar. Pengalaman terluka, kecewa, kehilangan kepercayaan dapat membuat orang mengingkari kasih Tuhan dan kehadiran gereja. Pengalaman itu bahkan mendorong dunia modern menolak kehadiran gereja. Tetapi Romo Budiono mengingatkan, bahwa seorang ibu adalah manusia yang tidak sempurna. Sama halnya juga dengan gereja yang adalah tidak sempurna karena terdiri dari manusia. Meskipun gereja penuh dosa dan kadang mengecewakan, cinta kepadanya tidak akan pernah berkesudahan, sama seperti cinta kita kepada ibu yang juga kekal
Semangat dan spiritualitas seperti inilah yang diharapkan dimiliki anggota DPH Paroki Tomang. Bahwa para anggota dewan memiliki iman yang tulus kepada Tuhan dan gereja-Nya sebagai ibu yang tidak pernah berhenti mengasihi anak-anaknya. Kesediaan menjadi anggota dewan adalah kesempatan untuk membalas cinta kasih Tuhan itu – melalui melayani gereja dan jemaat Allah.
Belajar dari Filosofi “Rumah”
Anggota DPH berasal dari latar belakang yang berbeda. Tidak mudah menyatuhkan perbedaan-perbedaan tersebut, tetapi itu bukan tidak mungkin. Panggilan menjadi pelayan Tuhan dan Gereja-Nya justru menjadi dasar bagi penyatuan itu. Usaha penyatuan harus terus dilakukan. Romo Budiono menawarkan menafsirkan makna “rumah” secara sangat menarik sebagai pemicu untuk mengusahakan kesatuan komunitas DPH.
Lebih lanjut Romo Budiono menawarkan empat elemen rumah yang pantas direnungkan, yakini lantai, dinding, atap, dan pintu. Keempat elemen rumah ini dapat membantu mewujudkan atau sekurang-kurangnya memberi inspirasi bagi usaha membangun persaudaraan anggota DPH.
Tentang lantai, Romo Budiono menekankan pentingnya anggota DPH memiliki rasa saling percaya satu sama lain, selain juga kesediaan untuk diinjak-injak dan menjadi landasan yang kokoh. Syarat untuk menjadi landasan yang kokoh adalah rasa percaya. Maka, seorang anggota DPH harus memastikan, apakah dirinya pantas dipercaya atau tidak? Apakah ada rasa saling percaya di antara anggota komunitas DPH? Atau, jangan-jangan anggota DPH memikirkan diri dan agendanya sendiri-sendiri?
Tanda dari rasa saling percaya adalah ketika seseorang dapat diandalkan dan ketika seseorang mampu menyimpan rahasia. Apakah anggota DPH dapat diandalkan dan dapat menjaga rahasia satu sama lain, atau malah membeberkan rahasia dan kelemahan rekan-rekannya, dan dengan demikian menghancurkan paguyuban itu sendiri.
Tentang dinding, Romo Budiono menekankan pentingnya penerimaan, pentingnya memberi tempat dan pengalaman diinginkan di dalam komunitas. Seperti halnya dinding rumah, setiap anggota DPH harus merasa dibutuhkan, meresa diterima, merasa ada ruang bagi dirinya. Setiap anggota DPH perlu merasa dicintai dan didengarkan, merasa kehadiran anggota DPH lainnya sebagai saudara dalam satu kamar dengan dinding-dinding yang melindungi mereka. Dinding-dinding itu adalah ruang tempat orang merasa nyaman, tempat orang mau membuka diri dan membagi segala rasa khawatirnya, bahkan berbagai ketakutan dan rahasia yang membelenggu dirinya.
Tentang atap, Romo Budiono menekankan aspek perlindungan. Bahwa anggota DPH harus mampu membangun persaudaraan dan menjadi pelindung bagi saudaranya. Komunitas DPH harus menjadi ruang orang mengalami kehangatan, mengalami peneguhan, dan menimba kekuatan. Seperti atap yang melindungi penghuni rumah dari panas, dingin, dan hujan, anggota DPH juga harus memberi perlindungan dan menjamin anggota lainnya merasa krasan atau betah. Di bawah atap yang satu dan sama, anggota DPH harus saling tolong-menolong dan meneguhkan supaya tidak ada yang putus asa dan mengundurkan diri.
Tentang pintu, Romo Budiono tampak menekankan aspek kebebasan. Sebagaimana pintu rumah menjadi tempat orang bisa masuk dan bisa keluar, komunitas DPH pun seharusnya demikian. Setiap anggota DPH harus merasa menjadi anggota bukanlah sebuah pemaksaan. Lebih dari itu, setiap anggota DPH juga harus memiliki rasa saling percaya, supaya aktivitas keluar masuk melalui pintu itu tidak menjadi sebuah praktik kebebasan liar, juga bukan sebuah pengekangan.
Analogi pintu juga menegaskan pentingnya tanggung jawab. Romo Budiono mencontohkan, kalau pun orang bebas keluar masuk melalui pintu, jadi misalnya orang tidak hadir dalam rapat DPH, sebagai pribadi yang bertanggung jawab, seharusnya menginformasikan kepada anggota komunitas lainnya. Gambarannya persis sama dengan di rumah, ketika anggota keluarga lainnya tahu di mana anggota lainnya berada, dan sebagainya. Rekoleksi dua hari itu dikemas secara menarik berkat kerja keras panitia, dimotori oleh Rudy Kurniawan dan kawan-kawan. Rekoleksi dua hari itu sungguh sebuah pengalaman iman dan formasi yang menguatkan anggota DPH.[Laporan Yeremias Jena]